17 | Ceritera Dua Belas Siang

27 9 0
                                    

c r i n G E .

c r i n G E

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

. . .

"Renjani Niwashita. Gue inget banget, dia temen SD gue. Kita emang saling kenal, tapi gak ada niatan untuk membuat ikatan. Renjani itu lugu banget, anaknya pinter kelewat polos. Dulu waktu pembagian nilai UN, dia yang paling tinggi. Ranking dua, diantara 453 siswa. Tapi satu yang paling di sesali, ya, dia gak punya temen."

Jaevon menyela, "Gak punya temen?"

Mitha mengangguk. "Iya, bahkan dulu itu saking bocahnya gue, gue malah ikut-ikutan buat bully dia---KALEM BRAYY, gue gak bully dia secara fisik, tapi verbal."

Dengusan kasar terlontar dari lubang hidung tuan Bagaskara. "Sama aja, sempak dajjal." matanya berputar malas, lalu menopang dagunya terlampau penasaran. "Yok, lanjut."

"Sampai ada kabar masuk, kalau dulu Renja pernah ada niatan buat bunuh diri."







Semilir sang bayu menerpa durjanya yang kelewat ayu. Poni mangkuk, dengan mata sayu yang terkatup, semuanya ia nikmati bersamaan dengan seru deru klakson kendaraan yang terlampau bising, merobek rungunya tanpa permisi.

Ia berdiri sendiri dengan tangan yang terkepal kuat. Dalam benaknya, ia merapalkan selaksa doa, menumpah ruahkan paradigmanya pada semesta. Ia hanya gadis belia, Tuhan. Masih butuh kasih sayang teman sebaya, dan puji gratis guru Bahasanya.

Bersyukur Ayah dan Bunda lengkap. Memberi seluruh cintanya pada sang anak. Namun tetap saja, ia merasa kecil karena teman yang ia miliki sama sekali tak berarti---bukan tak memiliki, namun tak berarti.

Cakrawala Batavia sangat cerah. Terlampau sakit bila disamakan dengan hati gadis yang temaram.

Pertama, kenali. Gadis berkuncir kuda itu namanya Renjani. Renjani yang belasan kali lebih tua itu sangat berbanding dengan Renjani yang berdiri di atas jembatan layang.

Umur sepuluh tahun, Renjani mencoba untuk mencari keabadian. Wajar untuk gadis yang masih bau bedak itu menginginkan nyawanya direnggut Tuhan, satu yang mungkin kalian sadari, ia hanya mencari perhatian.

Di sekolah, jarang sekali ada yang memujinya. Ranking satu itu hanya beban untuknya, karena sebab ranking sialan itu lah ia banyak digunjing oleh teman sebayanya.

Embusan napas terbentang luas ke seluruh jagat. Atensi manusia yang berlalu lalang mulai menatap ke arahnya---lebih tepat, ke arah kakinya yang memanjat pagar kecil di jembatan.

Semuanya berkerumun, namun tak ada yang peduli.

Ia berdiri, satu kali lebih tinggi. Merundukkan sirahnya dalam seraya menggigit bibir penuh isakan tangis. Hatinya remuk redam, melihat di bawah sana ada sungai yang diam, namun dalam. Renjani takut, namun ia tak bisa apa-apa.

Seandainya ─najaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang