20 | Ngatmombilung, Menepi

33 7 0
                                    

Q : part yang paling puyeng diketik?
A : part 20---dan beberapa part yang
mendekati epilog.

Q : part yang paling puyeng diketik?A : part 20---dan beberapa part yangmendekati epilog

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

AWAS GUMOH

. . .

Berjalan di bawah mega berarak dengan angin bertiup alap santun, cucakrawa dengan siulannya yang mendamaikan rungu---desau nan desir alam menyambut pagi ini. Menyemarakan gama keempat insan paripurna yang hendak bertamu ke wisma Pak Ruslan. Niatnya sih hendak meminjam gitar, namun tak disangka pula, Jaevon dengan segala tutur manisnya berujar,

"Pak Ruslan! Ngopi ngapa ngopi?! Diem-diem bae!"pekiknya lantang, dan dibalas kikikan kecil oleh Jevano yang berdiri di sampingnya.

"Fix ini mah, ngode minta digotong ke RSJ terdekat."

Haidar mengangguk, "Lebih ke satwa liar yang lepas dari kandangnya sih..." balasnya sambil menilik tajam ke arah Jaevon yang tengah menatapnya penuh sangsi.

Jaevon mendengus, "Berisik bat lo, keramik pecah."

Sudah sekitar 2 menit untuk mereka berdiri tegap di depan rumah Pak Ruslan. Saking jemunya, mereka tanpa sungkan menendang beberapa kerikil, mengetuk pintu rumah yang punya, pula memasukan jari telunjuk ke dalam hidung alias ngorong---ah, jangan tanya siapa pelakunya. Sudah pasti itu Tuan Rendra yang terhormat.

Selang berikutnya, pintu wisma Pak Ruslan terbuka lebar, menampilkan muka kusut bak orang bangun tidur dengan sarung yang ia pakai di sekujur tubuhnya---tanpa atasan, hanya sarung saja.

"Apaan sih kalian, pagi-pagi berisik banget udah kayak orang demo."

Pak Ruslan menguap lebar sambil mengusap wajahnya kasar, ia menatap satu persatu pemuda dihadapannya ini sebelum akhirnya pandangan ia terpaku pada satu insan yang belum pernah ia lihat di sepanjang hidupnya.

"Lah? Kamu siapa?" tunjuknya pada Haidar.

Haidar menggaruk tengkuknya pelan, lalu membungkuk sopan. "Haidar, Pak. Temennya Jaevon dari Jakarta."

"UWUUUU ... ANAK KOTA RUPANYA!"

Jevano mendengus, "Gosah lebay napa, Pak."

"Ini gak lebay, ini namanya memberikan sebuah ungkapan kalau bapak bener-bener terkejut."

"Tapi itu le to the bay banget, ew." timpal Rendra dan dihadiahi tatapan tajam dari pria yang kepalanya menyentuh angka empat itu. Pak Ruslan menatapnya bak mangsa, meniliknya dari atas ke bawah sambil melipat hasta di depan dada.

Pa Ruslan menatap Rendra curiga. "Ekhem, kamu ingat ini hari apa, Ndra?" tanyanya galak.

Kedua alis Rendra tertaut sempurna, ia terpegan. Memang hari ini ada apa?

"Sekarang hari libur, Pak." balas Jaevon, macam paham perubahan raut muka Rendra yang kelihatan kebingungan.

Pak Ruslan mengembuskan napasnya, "Bapakmu libur! Sekarang deadline Rendra buat lunasin hutangnya," jelasnya. "Masa lupa lagi sih, Ndra?" tepukan kecil mendarat di keningnya, ia yakin, Rendra tidak akan lupa tentang yang satu ini.

Seandainya ─najaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang