-01-

2.5K 107 14
                                    

*

"Pokoknya mama nggak mau tahu ya, Hera! Kamu nggak kasian sama Erick kalau dia tanya papanya kemana? Apa kamu merasa selamanya kamu bisa ngurus Erick sendirian tanpa suami?! Iya?!"

Ruang keluarga yang biasanya menjadi tempat nonton telivisi dengan santai kini berubah menjadi ruang eksekusi yang mencekam. Setidaknya, itu yang kini dirasakan Hera.

Hera memandangi papa dengan tatapan memelas seolah meminta bantuan.

"Papa! Bantuin dooong." Rengek Hera.

"No! Kali ini papa dukung mama. Yang dikatakan mama itu 100% benar." Papa memberi pengertian dengan lembut. Berbeda dengan mama yang serba berapi-api.

"Tuh dengerin papa kamu! Apa di kepala kamu cuma ada duit, duit, dan duit? Masa sama perasaan anak aja kamu nggak peka! Makanya, jangan punya anak kalau kamu nggak siap!" Hardik mama lagi. Membuat Hera semakin jengah dan tidak punya kata-kata untuk menjawab.

"Mama tuh kadang pingin bongkar isi kepala batu kamu itu. Terus mama ganti sama otak sapi, biar lebih pinteran dikit. Mama rasa sapi lebih menghargai anaknya daripada kamu!" Lanjut mama pedas.

"Ma, Hera juga nyari duit buat anak. Coba mama lihat dari sudut pandang yang berbeda. Yang Hera lakuin ini bener atau salah!" Pembelaan pertama Hera membuat mama semakin berang.

"Apa?! Sebentar, kamu bilang sudut pandang berbeda? Kok kamu ngajarin kami yang sudah membesarkan anak selama 26 tahun."

Mama mendaratkan bokongnya lagi ke sofa. Setiap mama mengeluarkan uneg-uneg, tanpa sadar mama berdiri. Napasnya memburu tanda sedang di puncak kemarahan.

"Memang, papa dan mama hanya punya satu anak yaitu kamu. Kami juga belum pernah merawat anak laki-laki. Tapi kami belajar ilmu parenting. Ketika anak kehilangan salah satu orang tuanya, pertumbuhannya akan 50% terganggu. Papa sedikit khawatir ketika kamu memilih mengurus Erick sendiri. Padahal, membesarkan anak yang berlawanan jenis dengan kamu itu sangat besar resikonya. Yang jelas, Erick butuh sosok ayah yang bisa mendidik dan mengawasi pertumbuhannya. Kamu adalah seorang mama, mungkin ada beberapa peran 'ayah' yang bisa kamu handle, tapi banyak juga yang belum tentu bisa kamu urus sendiri." Papa akhirnya mengeluarkan opini.

Mama mengangguk membenarkan. Mama sudah terlalu capek bersitegang dengan orang keras kepala seperti Hera.

"Pikirkan baik-baik. Ketika kamu punya anak, jelas yang menjadi prioritas bukan lagi diri sendiri, tapi anak. Kami mendesak kamu untuk menikah justru karena kami sayang kamu dan juga cucu kami." Lanjut papa lagi.

"Gimana mau nikah, pacar aja nggak punya." Keluh Hera.

Mama tersenyum licik. Dalam dua detik ada sebuah rencana besar yang tersusun otomatis di kepala.

"Hahahaha. Jangan sedih, mama pasti akan mengatur semuanya untuk kamu."

Hera bergidik, rencana mama adalah sebuah bencana untuknya. "Mama jangan aneh-aneh deh! Hera bisa ya cari pacar sendiri. Nggak usah dijodohin!"

"Lho? Apa yang salah dari perjodohan? Kamu kan udah kami kasih kebebasan untuk memilih pasangan sendiri, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu milih cerai tanpa meminta keputusan kami. Mantan suami kamu juga sampai sekarang nggak pernah tuh kesini buat sekedar minta maaf." Jelas papa berada di kubu mama.

Mama tersenyum jumawa. Hera kali ini telah kalah. Pembelaan yang Hera lontarkan tidak ada artinya untuk papa dan mama.

Hera berdecak malas.

"Waduh waduh. Kok pada tegang gitu sih mukanya. Hehe." Entah siapa yang mengundang Erwin, yang jelas kedatangan Erwin kali ini menyelamatkan Hera.

"Oh lo mau ngajakin gue ke mall kan? Yuk ah! Kebetulan gue lagi suntuk nih. Bentar ya gue ganti baju dulu." Serobot Hera sambil mengedipkan mata cepat pada Erwin.

"Ha? O-oh iya." Entah kenapa mulut lemes Erwin tiba-tiba gagap.

Hera langsung melesat ke kamar untuk mengganti baju dan memoles wajahnya yang kuyu.

Erwin berdiri kaku di ruang tengah. Ia sadar kedatangannya kali ini tidak tepat. Belum sempat Erwin mencairkan suasana, Hera sudah muncul dihadapannya.

"Yuk cabut!" Hera menggeret paksa tangan Erwin keluar rumah.

"Eh komodo! Apaan sih lo pake segala ngomong gue ngajakin lo pergi. Sinting lo ye! Mana gue kayak gembel gini lagi."

"Udah deh diem! Temenin gue kemana kek gitu. Gue mau cerita sama lo!" Hera menyerahkan kunci mobilnya kepada Erwin.

Tanpa banyak tanya, Erwin membawa mobil Hera ke cafe langganan mereka berdua.

Sesampai di cafe, Erwin memesan dua gelatto rasa coklat pisang dan puding buah.

"Kenapa sih?"

"Gue dipaksa nikah lagi. Mereka tuh nggak tau apa ya! Gue tuh masih trauma sama yang namanya pernikahan." Keluh Hera.

"Masalah Erick lagi?"

Hera mengangguk.

"Gue paham kekhawatiran bokap nyokap lo. Nggak ada orang tua yang tega ngeliat anaknya jadi janda gini."

"Kok lo malah jadi di kubu mama sama papa sih?!" Seru Hera.

"Bukan gitu sis, gue cuma berusaha ada di tengah-tengah dan nggak memihak siapa pun. Lagian elo bego! Lo tuh udah dicerai, diselingkuhi, eh masih cinta! Dasar otak udang!"

"Ngaca dong! Lo juga tetep aja cinta mati sama Rena meskipun Rena nggak anggap lo serius sama dia. Udah gitu sekarang lo malah jadi playboy lagi!"

Erwin menjitak kepala Hera dengan sendok es krim di tangannya. "Ya udah! Sama-sama bodoh jangan saling menyalahkan. Hahaha!"

Hera dan Erwin sama-sama tertawa.

*

Revisi pertama nih😂 deg-degan takut gada yg syukaa😭 komen yahhh😘

GATAU KALIAN MASIH INGET APA NGGAK CERITA INIIIII. AKU MERASA BERSALAH KARNA BIKIN CERITA INI MANGKRAK 2 TAHUUUUN

Janda Memang Menggoda [REVISI]Where stories live. Discover now