[07] Perjalanan, Pengungkapan, dan Penolakan

1.8K 287 64
                                    

Update lagi untuk kalian yang mau menunggu.

”Kau mau aku jahat lagi?”

Tentu aja enggak.

Rumi merasa Musa menegaskan bahwa pemuda itu ingin menjalin hubungan yang baik dengan Rumi. Konteksnya yang bagaimana, Rumi pun belum bisa menebak. Mungkin Musa ingin membalas segala perbuatan jahatnya dahulu atau Musa memiliki perasaan kepada Rumi.

Gadis Bundo itu tersenyum-senyum sendiri. Bagi perempuan yang belum pernah jatuh cinta itu, merekahnya kedua bibir benar-benar alami tanpa dia sadari. Manisnya tidak dibuat-dibuat. Berbanding lurus dengan perasaannya yang bersemi, parasnya pun ikutan berseri.

Rumi pun bertanya-tanya, apa yang menyebabkan Musa berubah jadi baik? Semasa dulu Musa merupakan pemuda pengangguran yang nggak ada otak. Alat pikirnya itu disembunyikan di bawah kaki dan diinjak-injak sehingga semua perbuatannya tidak melewati proses berpikir. Menular pula ke mulutnya yang tajam macam sabit, menghunus seseorang dengan kata-kata.

Rumi sangat membenci sosok yang dahulu tidak terlihat tampan itu. Selain benci, Rumi pun takut. Saat itu, tak ada yang membuat Rumi bergidik selain Fir’aun. Pemuda itu sekasar-kasarnya manusia. Dia biadab dan tidak punya perasaan. Mana pernah Ma’un memikirkan perasaan orang yang dia sakiti. Mau Rumi menangis sekali pun, tawa pemuda itu takkan berhenti.

Tapi sekarang ... Seiring usia yang makin matang. Pun dengan Syarif yang telah menyunting gadis orang, Rumi ingin pula dipersunting pria idaman. Hanya Musa yang Rumi inginkan di saat memikirkan pernikahan.

Bisakah Musa Rumi andalkan?

Dan ... kenapa sebegini lekatnya rasa Rumi untuk anaknya Etek Fatimah? Rumi mau sekali hidup dengan Musa dan diperlakukan sebaik sekarang. Cara Musa yang terasa beda, tidak terlihat baik, tetapi sangat tulus meluruhkan cinta kepada si tetangga di kampung.

Jatuh cinta tak jauh-jauh dari galau, ya. Kenapa harus si Ma’un coba? Hati Rumi menjerit mengusir nama itu dari kepala, tapi bukannya lari Musa malah makin mendekat dan menempel sangat kuat dalam pikirannya.

”Kaka! Barang melamun saja. HP-nya bergetar dari tadi.”

Siti tidak heran lagi melihat peringai Rumi. Dikejutkan seperti itu, Rumi malah menyengir. Gerak tubuhnya begitu energik menggapai gawai di atas meja kecil samping kepala ranjang.

”Aura orang jatuh cinta. Muka Kaka memancarkan cahaya rembulan malam empat belas, selalu tampak gembira ria. Kaka pung perasaan pasti kayak bola yang dioper ke sana-sini. Baru kemarin Kaka seng (tidak) mau bertemu Abang Musa. Sekarang udah mau gila memikirkan dia. Beta senang Kak Rumi menyadari Kaka pung hati.”

Rumi membahas Musa terus. Gimana Siti tidak tahu perasaan  gadis Minang itu? Sesaat Siti keluar untuk memberikan Rumi privasi.

Sudah dapat pekerjaan?” Suara Bundo bertanya lunak.

Rumi cuma menggeleng sambil menghela napas. Pelan pula Rumi menjawab, ”Mungkin sebentar lagi Rumi pulang—”

Kapan sebentar laginya?”

”Lusa paling cepat. Di sini nggak ada pekerjaan yang Rumi bisa doh.”

Rum,” panggil Bundo dengan suaranya yang agak bass.

”Hm?”

Ada orang datang ke rumah,” kata Bundo memberi jeda, ”tertarik dengan Rumi. Inyo (dia) serius mau sama Rumi.”

Hati Rumi bagai merintih. Suara Bundo menjelaskan tentang lelaki itu kini semakin meninggi, memuji dan mengagungkan kelebihan pemuda yang dimaksud.

Bismillah Move On (di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang