[04] Perhatian Bang Musa

2.5K 348 41
                                    

Maaf ye, Dede Rumi ngaret... huhu... Semoga masih ada yang ikutan baca cerita ini. Lebaran udah tinggal sehari lagi. Abang Musa belom tamat. 

happy reading... 



"Jadi cuma karena Kaka tidak suka deng Abang Musa, makanya kabur?"

Rumi mengangguk pelan sambil menahan denyutan di kaki kirinya.

"Dan orang yang kamu tinggalin itu sedang nyariin obat untuk kau!" Syarif mengomel sambil mengangkat kantong putih berlogo apotek.

Mereka mendapati Rumi sedang berdiri di pinggir jalan. Entah bagaimana cara ia bisa melangkah sejauh itu. Tidak ada sopir angkot yang membawa Rumi di sekitar sana. Musa datang ke rumah satu jam kemudian untuk membawakan obat Rumi tanpa kata. Kelihatan kesal dengan ulah si gadis Minang.

Syarif ingin menceramahi Rumi habis-habisan, tetapi panggilan dari tunangan menggagalkan. Kemarin dia belum sempat mendakwa Rumi akibat sang pasien langsung tidur sesampai rumah.

"Borok tuh kaki, indak bisa pulang kau doh (tidak bisa pulang kau)!" tandasnya sebelum pergi untuk menerima telepon.

"Abang! Abang Syarif kasar sekali ee!" teriak Siti.

Rumi meringis mendapatkan perhatian kedua saudara itu. "Siti hari ini kuliah?"

Gadis berhijab biru tua mengangguk. "Kaka kalau nanti butuh sesuatu, suruh-suruh saja Abang Syarif."

Rumi memamerkan dua jempol. Senyuman tercetak indah di birai gadis Sumatra. Bagi mereka Syarif sebuah lelucon untuk menghibur lara hati.

"Nah! Itu ada Abang Musa juga," tunjuk Siti ke halaman rumah. Gadis manise ke depan untuk menyongsong si tamu. "Sayang sekali ee beta tidak bisa menemani Abang Musa," lirih Siti sambil melihat pergelangan tangan. Ia ada ujian semester minggu ini.

Rumi merasa pundaknya ditepuk. Wajah Siti mendekat ke telinganya, "Abang Musa itu baik loh, tidak seperti yang Kaka ceritakan tadi." Pundak Rumi ditepuk dua kali. "Beta berangkat. Kalau Abang Musa jahat, panggil aja Abang Syarif. Kalau mereka sampe berantem, pasti muka Abang Syarif yang babak belur duluan. Lumayan itu untuk hiburan."

Setelah berpamitan, Siti mencari angkutan di depan rumah. Sepeda motornya masih di bengkel.

Musa menyandarkan punggung ke bangku. Kedua tangan ia silangi di dada. Tatapannya lurus ke arah wanita yang tengah menunduk di depan sana.

"Masih belum bisa mengucapkan terima kasih ... atau cara berterima kasih anak zaman sekarang adalah kabur dari penolongnya?"

"Emang siapa yang kabur? Kau tuh yang ninggalin orang," sergah Rumi.

Dua alis Musa yang terangkat tak luput dari penglihatan Rumi. "Kemarin mau ngurus pembayaran karena Rumi kira Abang pulang duluan. Tahunya udah dibayar, ya sudah, aku pulang juga."

"Lalu?" Musa memajukan tubuhnya, menanti satu kalimat lagi.

"Maaf deh." Rumi berdecak, "Maaf!"

"Lukanya sudah dikasih salep?" tanya Musa beralih topik.

"Hmm ..." Rumi melihat ke arah perginya Syarif. Ia menggerakkan jari agar Musa mendekat sebab ketika Rumi memajukan kursi, kakinya terasa sakit.

"Kira-kira luka ini berapa lama lagi keringnya?" Rumi memperlihatkan kakinya yang memerah. Lukanya selebar dua puluh sentimeter berada di betis bagian belakang.

"Kenapa?"

Rumi jadi jengkel atas ketidakkooperatifan lawan bicara. "Jawab saja sih, Ma'un!"

"Kata dokter, sekitar dua atau tiga minggu—"

Bismillah Move On (di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang