[01] Di Bawah Atap Masjid

5K 482 72
                                    

Assalamualaikum.... Sudahkah cerita ini masuk ke library Kakak?
Yuk, di-save dan mari baca.
Koment yang banyak bisa menutrisi mood penulis loh.

Happy reading...

Sejak Rumi naik ke mobil, adam berambut tutupi leher itu telah mencuri perhatiannya. Bukannya Rumi naksir. Pria yang sedang mengemudi di depan itu terasa familiar. Ia mirip dengan seseorang yang Rumi kenal. Dari sisi Rumi duduk dalam angkutan umum kini, ia hanya bisa melihat wajah samping si gondrong. Lelaki itu berahang tegas. Bulu-bulu halus di dekat telinganya merambat sampai ke pipi. Pembuluh darah di balik kulit putih tangannya membujur perlihatkan jalan sanguis menuju jantung.

Rumi enggak mungkin melupakan pria itu. Sosok pemilik rupa yang tidak menunjukkan laku. Keindahan fisiknya tak singkron dengan kebaikan sifatnya. Pria itu dahulu pernah diusir dari kampung akibat sebuah perkara. Apakah itu yang menyebabkan dia terdampar di kota ini?

Enggak! Tidak mungkin itu adalah dia! Mereka pasti hanya mirip. Sepuluh tahun yang terlewati bisa saja membuat ingatan Rumi ambyar.

Terdengar decakan dari lelaki di seberang tempat duduk Rumi. Perhatian Rumi teralihkan dari preman masa lalu kepada teman seperjalanan menuju kota di Timur Indonesia ini.

"Kenapa?"

Lelaki berkemeja hitam lengan panjang memonyongkan bibir ke tempat yang sebelumnya Rumi lihat. Rumi juga menoleh ke sana lalu menaikkan alis ketika Syarif berkata pelan, "Parampuang kapista! (Perempuan gatel)!" Syarif memiringkan sebelah bibir setelah bicara.

Apa artinya? Rumi enggak mengerti. Temannya yang asli Ambon itu baru kali ini mengucapkan bahasa daerahnya sendiri. Sampai kemarin saat masih di Padang, Syarif selalu berbahasa Indonesia. Oia, dia pun belajar tuturan Minang sehingga menggunakannya dalam bercakap. Kini saat berada di Kota Manise, bahasa pun ia tukar.

"Ose ini lia nyong gogos sampe seng kedip lay, Nona! (Kamu menatap lelaki tampan tanpa berkedip, Nona)!"

Lima penumpang selain mereka menatap ke arah Rumi. Rumi jadi makin bingung dengan apa yang dibicarakan oleh Muhammad Syarifuddin. Dia lagi ngejek?

"Kamu ngomong apaan sih?" Tentu saja perempuan bergamis kuning kunyit itu kesal. Rumi merasa sedang dikerjai. Dasar, Syarif!

"Apo bana nan kau caliak dari uda di muko tu sampai indak mangijok saketek alah juo (Apa sih yang kamu lihat dari abang di depan itu sampai matanya tidak berkedip)?" ulang Syarif dengan bahasa Minang yang lancar.

Entah itu ilusi atau bukan, Rumi sempat lihat punggung si supir menegang. Ia juga melirik ke belakang lewat spion tengah. Dia ngerti Syarif ngomong apa? Mungkinkah ... Ah, daripada memikirkan orang yang mirip Fir'aun, lebih baik Rumi mengurusi ejekan Syarifuddin.

"Biasa aja kali, Pak, ngomongnya. Pakai ngegas segala. Siapa yang enggak berkedip?" tampik Rumi.

"Ose lah. Siapa lagi?"

Kedua teman sehobi itu memang kerap bertengkar ringan. Bagi mereka, itulah resep mengawetkan pertemanan. Eits! Mereka tidak berada dalam hubungan asmara. Jangan berharap ada tujuan ke arah sana. Syarifuddin baru saja mengkhitbah perempuan yang sudah lama diminatinya. Ck ... Memang istilah itu yang Syarif katakan kepada Rumi waktu mengemukakan rencananya. Katanya setelah wisuda nanti, dia akan mengkhitbah perempuan saleha yang dia minati. Mereka merayakan pesta kelulusan sarjana baru sebulan yang lalu.

"Nggak sampai-sampai, ya. Katanya tadi deket, makanya ang (kamu) ajak aku naik angkot," sindir Rumi dengan logat Minangkabau yang kental.

"Minggir muka jua, Bang!" teriak Syarif sambil tersenyum mengejek ke arah Rumi. Rupanya mereka telah sampai.

Bismillah Move On (di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang