12. Sepenggal Ingatan

106 12 46
                                    

TERIMA KASIH SUDAH BACA SAUDADE

APA KABAR KALIAN?

———

15 Desember 2010

Hari sudah mulai gelap, matahari yang sedari siang senantiasa menyapa penghuni bumi, perlahan mulai turun untuk mengistirahatkan dirinya. Angin terus berhembus kencang, sepertinya sore menjelang malam ini akan segera disapa oleh hujan. Mata elang anak lelaki itu menyadari cuaca yang mulai berubah, segera dirinya berjalan menghampiri jendela kamarnya, matanya menatap luas langit yang sudah mendung, rambutnya sudah mulai berantakan akibat diterpa angin yang terus masuk melalui jendela kamar. Mata anak lelaki itu beralih ke bawah, saat apa yang ia tunggu tak kunjung datang, helaan nafas terdengar dari anak tersebut. Dengan cepat tangan mungilnya meraih ujung jendela dan menutupnya rapat-rapat.

Anak lelaki itu berjalan menghampiri piano yang ada disudut kamar, perlahan senyumnya mulai terangkat, dengan segera dirinya terduduk dan tangan mungilnya mulai memainkan nada demi nada yang sudah beberapa hari ini ia pelajari. Sederhana. Ia ingin memainkan sebuah lagu untuk ibunya saat peringatan hari ibu nasional nanti. Dibandingkan hari-hari sebelumnya, kali ini kerutan di dahinya sudah jarang terlihat, permainan piano anak ini sudah dapat dikatakan jauh lebih baik.

Tidak dihiraukan suara petir yang terus menggelegar, ia masih terlihat terus menikmati permainan pianonya. Sampai suatu terdengar dari luar kamar membuat anak laki-laki ini kaget dan tanpa sadar menghentakkan jarinya pada tuts-tuts piano. Suara pecahan benda terdengar, membuat anak lelaki itu berlari dengan cepat ke arah pintu kamar dan mulai perlahan membukanya. Anak laki-laki itu membuka sedikit pintunya dan mengintip dari balik sana.

'PLAAAKK'

"Apa kamu nggak pernah bisa hargai saya?!" teriak suara bariton dari luar sana.

Tangan anak lelaki itu mulai gemetar saat mendengar suara ayahnya yang begitu menggelegar dan penuh dengan amarah. Matanya sedikit mengintip melihat vas bunga yang sudah tak berbentuk dan ibunya yang saat ini masih menyentuh pipinya yang habis ditampar. Tidak. Ini bukan situasi yang anak laki-laki itu sukai. Tolong siapapun hentikan situasi ini.

'PLAAAKK'

"Mama..." lirih anak laki-laki itu saat melihat ibunya kembali ditampar oleh Ayahnya.

Anak lelaki itu sudah tidak tahan mendengar perseteruan antar orang tuanya tersebut. Dengan tangan gemetar, perlahan ia tutup kembali pintu kamarnya dan berlari ke sudut kamar serta menutup telinganya dengan kedua tangannya, sebisa mungkin ia tidak mau mendengar perseteruan antar orang tuanya yang masih berlangsung.

Tangis anak itu sudah pecah saat tangannya tidak mampu menghalau suara pecahan barang yang dilempar dan teriakkan dari kedua orang tuanya. Sungguh, pada saat-saat seperti ini ia ingin sekali pergi dari rumah ini atau lenyap entah kemana.

Dulu. Pernah ada kehangatan di rumah ini, namun semua perlahan sirna saat keegoisan dan keangkuhan memaksa masuk ke dalamnya.

———

2017

Keringat sudah mengucur deras di kedua pelipis lelaki itu, matanya masih terpejam namun tidurnya gelisah, kepalanya sesekali menggeleng kuat dan tangannya mengepal.

"Enggak... berhenti..." racaunya pelan.

Bi Sumi yang sedari tadi mengetuk pintu kamar Jonathan namun tidak ada yang menyahut jadi khawatir sendiri, dengan sigap ia segera membuka pintu tersebut.

Saudade [ON GOING]Where stories live. Discover now