Tadinya Clara pikir anak itu kenapa-kenapa, hingga ia akhirnya bergegas pulang tanpa menunggu lebih lama. Mengabaikan penampilannya yang menyedihkan gara-gara perempuan sialan itu, serta sejumlah pesan dari Rangga yang masuk ke ponselnya. Tapi saat ia pulang dan melihat motor merah Cairo terparkir di halaman, amarah Clara rasanya tak mampu lagi ia tahan.

"Lo pikir pakai apa? Gue nungguin lo lama banget tapi lo nggak dateng-dateng, Ro. Gue udah mikir yang enggak-enggak. Gue kira lo kenapa-kenapa di jalan, karena biasanya lo nggak pernah telat tiap gue minta jemput. Tapi ternyata lo baik-baik aja, lo sehat. Terus kenapa lo nggak langsung jalan pas tadi gue telepon?" Api di mata Clara menyala seiring dengan kata yang ia lontarkan. Tangan gadis itu masih mengepal, berusaha menahan diri agar tidak kelewatan. Tapi gagal.

Amarah yang sepanjang jalan tadi meronta seolah menemukan pelampiasan. Ia sudah cukup kesal gara-gara perempuan yang tadi menyerangnya dengan brutal dan sekarang adiknya sendiri membuat panas di dadanya semakin membakar.

"Gue baru mau jalan, Kakak udah pulang duluan."

"Baru sekarang lo mau jalan? Dari tadi lo ngapain aja? Lo nggak tau berapa lapa gue nunggu di sana? Lo nggak tau sekarang gue berantakan kayak gini gara-gara apa? Lo nggak kasihan sama kakak lo sendiri?"

"Nggak gitu, Kak. Tadi ada kecelakaan kecil dan gue harus nganter Fajar balik dulu, baru setelah itu gue jalan ke kampus lo."

Tapi sepertinya pengakuan Cairo justru membakar Clara lebih dari sebelumnya. Mata gadis itu menikam lebih dalam dari sembilu yang sengaja ditusukkan. Sedang di tempatnya Fajar diam. Mau menjelaskan pun percuma. Ia kenal Clara. Gadis itu menuruni hampir 90% watak Sonya. Ketika amarahnya telah membara, tidak ada yang bisa memadamkannya.

"Jadi gara-gara lo? Kenapa lo suka banget cari perhatian? Lo sengaja deketin Cairo buat lo manfaatin, kan? Lo cari simpati dari dia karena lo tau dia yang paling baik sama lo selama ini. Kebaca banget busuknya."

Namun, tuduhan yang Clara layangkan kali ini ternyata berhasil melukai Fajar, hingga refleks cowok itu bekerja lebih cepat dari yang ia bayangkan.

"Aku nggak selicik itu, Kak. Aku tau di sini aku sendirian, tapi aku nggak pernah cari pembelaan."

"Halah ... basi. Lo itu emang pinter banget cari muka, ya? Lo pura-pura jadi yang paling menderita biar semua orang pada kasihan?"

Fajar tahu kalimatnya hanya akan sia-sia. Maka ia memilih diam dan menatap Clara dalam, berharap gadis itu akan sadar bahwa ia telah keterlaluan. Tapi ternyata beku yang gadis itu miliki masih terlalu kuat untuk ia hancurkan. Alih-alih mendapat teduh yang dari dulu Fajar dambakan, ia justru kembali patah saat kalimat Clara kembali membelah tenang ruangan.

"Bisa nggak, berhenti bersikap seolah lo punya tempat di sini? Lo emang anak Mama, tapi nggak pernah ada yang mau lo lahir ke dunia. Nggak ada yang suka lo di sini. Jadi tolong sadar diri! Nggak usah banyak tingkah!"

Kemudian gadis itu berlalu dengan air mata yang kembali jatuh di pipi. Melewati tempat Fajar berdiri tanpa peduli pada luka yang baru saja ia goreskan dan mungkin akan abadi.

"Kak Clara!"

Bahkan pekik keras Cairo pun hanya ia biarkan menguap di udara dan kemudian dibalas dengan bantingan keras pintu yang menggema.

Fajar sampai memejamkan mata, berusaha menetralkan kembali debar tak wajar di dadanya. Ia selalu benci suara yang terlalu keras dan Clara baru saja memberinya kejutan luar biasa. Sampai kemudian ia bisa mendengar suara Cairo berbisik padanya, pelan namun memaksa.

Memeluk Fajar [Terbit]Där berättelser lever. Upptäck nu