Empat; Kenapa Aku Harus Ada?

Start from the beginning
                                    

Wanita itu telah kehilangan rumahnya sejak Fajar datang. Terbukti dari bagaimana dia terus melarikan diri dari mereka semua yang merindukan. Menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuknya menetap di luar.

Fajar tahu, wanita itu pergi bukan karena tuntutan. Tapi karena ia memang ingin menghindar. Dan selama ini Fajar berhasil diam, meski dengan begitu ia justru semakin kesakitan.

"Sebenernya, tadi gue cuma mau minta nomor Mama, Kak. Masa dari dulu gue cuma punya nomor penggemarnya aja, padahal 'kan gue anaknya. Ya walaupun nanti juga nggak akan berguna karena gue tahu Mama nggak mungkin mau terima telepon gue, seenggaknya gue punya nomor Mama. Seenggaknya gue bisa kirim pesan ke dia biarpun nggak bakal dibaca. Seenggaknya ... gue ngerasa kayak punya Mama."

Ada yang salah dengan cara Fajar bicara. Anak itu tidak membawa senjata, tapi kenapa Cairo merasa seperti tersayat tepat di dada?

Yang lebih menyakitkan adalah ketika Fajar masih terlihat baik bahkan ketika matanya berkaca. Sejenak Cairo diam, berusaha membaca sakit yang anak itu rasa. Tapi tidak bisa. Semakin panjang detik menenggelamkannya, Cairo justru merasa hampir mati karena siksanya.

"Kenapa nggak minta sama gue?" tanya Cairo kemudian. Senyum Fajar kembali mengembang, tapi tidak terasa meneduhkan.

"Kata Mama nggak boleh. Jadi gue nggak mau sembarangan nyimpan nomornya, tanpa sepengetahuan dia. Nanti Mama marah, terus nggak mau pulang."

Helaan napas panjang Cairo terdengar setelahnya. Isi kepala Fajar adalah hal yang tidak pernah mampu ia terka. Cairo juga tidak pernah tahu hati anak itu selapang apa. Karena jika itu dirinya, sudah pasti ia akan memilih untuk tidak peduli saja. Bukannya terus menyakiti perasaan sendiri dengan mengharapka orang yang bahkan tidak menganggapnya ada.

"Gue nggak ngerti lo itu terlalu baik atau justru tolol," ucapnya. Kemudian ia mendecih, sebelum ponsel di saku celananya menjerit, mengemis perhatian.

Dengan cepat Cairo menarik benda itu dari saku dan membawanya ke telinga. Ia tidak menyapa. Karena suara Clara yang menggema dari seberang sana tidak pernah menunggu sapa untuk memulai bicara.

Lima belas detik berlalu sebelum panggilan itu mati dan selama itu Cairo hanya diam saja. Fajar yang dari tadi memperhatikan kemudian memberanikan diri bertanya.

"Siapa?"

"Clara."

"Kenapa dia?"

"Minta jemput. Pacarnya nggak bisa ngantar balik karena ada janji sama dosen pembimbing."

"Oh, ya udah, jalan sana. Nanti Kak Clara marah kalau Kakak lama."

Sejauh mereka hidup bersama, Fajar tahu Cairo memang tidak pernah memerlukan perintah untuk melakukan apa-apa. Keputusannya adalah mutlak dan tidak perlu menunggu persetujuan siapa-siapa. Maka saat detik itu ia melihat Cairo justru meraih tas Fajar dan membawanya di bahu, ia buru-buru menahannya.

"Kakak nggak mau jemput Kak Clara?"

"Gue antar lo pulang dulu, baru jemput dia."

"Nanti Kak Clara marah, Kak."

"Lo pilih dia yang marah, apa gue yang marah?"

Seketika Fajar menelan kembali penolakan yang bahkan belum sempat ia lontarkan. Kalau Cairo sudah mengancam, Fajar tidak pernah berani melawan. Ia masih bisa tenang saat Clara memaki dengan kata-kata kasar, atau saat Brata menyudutkan statusnya sebagai anak yang tak diinginkan. Tapi ia selalu ketakutan bahkan hanya dengar mendengar Cairo membentak pelan.

"Kalau nanti ada yang lihat kita di jalan, gimana?"

"Gue udah bilang, semua orang taunya kita temenan. Selama lo diem dan gue diem, nggak akan ada masalah. Ayo buruan! Makin lelet lo gerak, makin lama Clara nunggu."

Memeluk Fajar [Terbit]Where stories live. Discover now