Chapter. VII

40 6 0
                                    

Catatan: Fanfiksi ini terinspirasi dari film Crimson Peak (2015). I'd suggest you to watch it!

Tokoh-tokoh yang aku gunakan adalah Erik Lehnsherr/Magneto, Charles Xavier/Professor X dan Raven Darkholme/Mystique dari franchise X-Men trilogy prekuel-nya Fox. Iya tau. Saya lambat banget.

I hope you enjoy this story!

--------

Ruangan kamar mandi itu terletak di sebuah lorong yang agak sempit dan gelap. Meski pun hari memang sudah malam, jika mengintip dari jendela di koridor rumah, Erik tahu kalau bulan sedang terang malam ini. Di lorong kamar mandi itu hanya ada sebuah jendela kecil berbentuk lingkaran. Hanya sedikit berkas cahaya yang mampu menembus. Erik meletakkan lilin yang dibawanya pada tatakan, lalu dia melihat bak mandi yang berada di ujung ruangan. Erik memutar keran air pada bak mandi itu. Dia bernapas kaget saat melihat air yang mengalir berwarna kemerahan. Baru saja Erik akan menghentikan aliran airnya dan pergi mencari Charles atau Raven untuk menanyakan soal air itu, tapi perlahan-lahan air yang keluar berubah menjadi bening. Air yang berwarna merah tadi akhirnya turun melalui saluran air dan tergantikan oleh air bening yang bersih. Erik berpikir mungkin pipa saluran air di rumah itu terkontaminasi oleh bata atau tanah liat. Karena Raven sudah susah-susah memanaskan air, akhirnya Erik masuk juga ke dalam bak mandi, dan mulai membersihkan tubuhnya.

Saat Erik memejamkan matanya dan mulai membuat dirinya santai, dia mendengar suara angin berhembus dari arah pintu. Padahal lorong tersebut sangat tertutup. Awalnya Erik tidak mau menghiraukan, toh hanya suara angin. Tapi kemudian suara di luar semakin keras dan membuat pintu di depannya berderak-derak. Mau tidak mau Erik jadi merasa terganggu juga. Akhirnya Erik berdiri keluar dari bak mandi itu dan mengosongkannya, lalu memakai gaun tidurnya yang sudah tergantung di sana. Erik membawa lilinnya dan melirik ke arah jendela yang ada di belakangnya, penasaran apakah suara angin itu disebabkan oleh badai hujan atau semacamnya.

Erik tidak bisa melihat banyak dari jendela kecil itu, tapi sepertinya suara angin yang mengganggu tadi sudah berhenti. Saat Erik membalikkan lagi tubuhnya, dia mendadak terpaku di tempat.

Bayangan hitam itu mirip dengan yang dahulu pernah dilihatnya sewaktu dia kecil, mendadak muncul dihadapannya. Erik sudah hampir lupa dengan kenangan itu, tapi sekarang dia merasa bisa mendengar pekikan dirinya yang masih berumur 6 tahun. Dia bahkan ingat suara hentakan kaki ibunya yang terburu-buru menaiki tangga.

Napas Erik tercekat saat melihat sosok hitam itu. Sosok hitam itu hanya berupa tengkorak manusia, tapi Erik bisa merasakan sosok itu menatapnya melalui soket tanpa bola mata. Sosok itu semakin mendekati Erik, membuat Erik semakin menahan napasnya. Saat sosok itu melewati Erik, Erik menyadari lilin di tangannya sudah hampir terjatuh, dia dapat saja memulai kebakaran jika lilin itu menyentuh karpet atau lantai kayu. Erik bisa merasakan hembusan angin dingin di tengkuknya. Entah kenapa saat itu Erik merasa sudah bisa menggerakkan tubuhnya lagi. Dia melirik sedikit ke belakang, dia melihat sosok hitam itu duduk di dalam bak mandi yang sudah kering. Sekilas Erik dapat melihat kilatan seorang pria dari sosok bayangan itu. Tapi kemudian sosok itu membuka mulutnya lebar, mengeluarkan suara memekik yang menyakitkan telinga dan Erik hampir yakin jantungnya melewatkan satu atau dua detakan. Sosok itu menghilang seperti tidak pernah ada.

-----

Dengan napas memburu Erik berjalan cepat menuju kamarnya, berharap Raven sudah ada di sana. Memang benar Raven ada di sana, sedang menurunkan rambut pirangnya di depan cermin di meja rias. Dia hanya ditemani oleh sebatang lilin, sama sekali tidak membuat kamar itu cukup terang bagi Erik untuk dapat melihat wajah Raven.

"Raven," panggil Erik. Mendadak dia merasa konyol jika harus menanyakan tentang bayangan hitam mengerikan itu pada Raven. Tidak seharusnya Erik mengisi pikiran Raven dengan hal-hal tidak masuk akal seperti itu. Bahkan sebaiknya, Erik lupakan saja itu dan menganggap dia memang hanya sedang mengkhayal (walau pun Erik tidak menganggap dirinya sering berkhayal). Mungkin Erik belum sepenuhnya selesai berkabung atas kematian ibunya. Meskipun kenapa dia jadi berkhayal hal yang mengerikan seperti itu, Erik tidak mengerti.

Crimson PeakWhere stories live. Discover now