Maka dunia mungkin akhirnya akan damai—dalam diamnya, dalam kehampaan, tanpa dirinya, menyisakan hanya serpihan kenangan yang hilang.
Dan untuk pertama kalinya ... Fitran ragu.
"Apakah aku masih makhluk yang bisa berdiri melawan mereka?"
"Atau... aku hanya mahkota yang menunggu kepala baru?"
Tak ada langit, hanya kelam abadi yang membungkus segalanya.
Tak ada tanah, hanya ruang kosong yang menggigit, menciptakan rasa sepi yang menggenggam hatinya.
Hanya ruang putih tak bertepi, di mana eksistensi menggantung seperti bisikan yang kehilangan tubuh, terperangkap dalam kekosongan waktu. Seolah alam semesta menciptakan tirani senyap, menghakimi setiap detak jantung yang terdengar seperti jeritan tanpa suara.
Fitran berdiri di sana, tanpa bayangan, karena di tempat ini tak ada cahaya untuk menciptakannya. Ia merasa seperti bayangan yang terbuang, suatu wujud tanpa makna, seolah ada yang melupakan keberadaannya. Di tempat ini, kesepian tidak hanya sebuah keadaan; ia adalah kekuatan, menelan segalanya kecuali rasa hampa yang merayap di dalam jiwanya. Fitran tertarik ke suatu dimensi baru.
Lalu, dia datang.
Arista the Lost muncul bagaikan jejak langkah di lantai yang tidak pernah diinjak. Sebuah figura yang berselimut misteri, aneh dan menjengkelkan; dia menyoroti semua ketidakpastian yang ada dalam hati Fitran. Anak perempuan tanpa wajah, mengenakan gaun compang-camping dari helai-helai mimpi yang ditolak, seolah dunia menolak untuk mengenali kehadirannya. Di tangannya tergenggam boneka rusak—tanpa kepala, tanpa suara, simbol dari harapan yang patah dan keinginan yang terabaikan.
"Kau yang membunuh Ayah." Suaranya bergema seperti gema dari gema, menghantui, dan menyiksa relung-relung terdalam dalam jiwanya.
"Tapi aku tidak marah... karena aku tidak tahu siapa dia."
Fitran tidak menjawab. Karena ia tahu: Semakin kau mencoba menjelaskan kepada Arista, semakin kau kehilangan kenanganmu sendiri. Dia merasakan beban kesunyian yang begitu berat, seolah dunia menuntutnya untuk memilih antara mengingat atau melupakan, antara menjadi bagian dari cerita yang terkubur dalam keheningan.
Lalu, Faranox datang.
Tak berjalan. Tak melayang. Ia menjadi ada di sana, seperti hukum yang tidak perlu dijelaskan, muncul dari kegelapan menjadi simbol ketidakpastian. Setiap keberadaannya memancarkan aura yang menakutkan, seolah ia adalah bayangan dari semua kesengsaraan yang pernah terjadi. Jubahnya bukan hanya hitam—itu adalah kekosongan yang menolak direduksi. Ia seperti angin malam yang dingin, menyusup ke dalam jiwa Fitran dan memadamkan api harapan yang tersisa. Wajahnya adalah cermin, dan di dalamnya, Fitran melihat dirinya... tapi tanpa nama, tanpa identitas, seolah ia adalah bayangan dari kehadirannya sendiri, terperangkap dalam labirin kesunyian.
"Kau telah mencemari geometri diam," ucap Faranox,
"dengan hasrat untuk diingat." Suaranya terdengar seperti nyanyian sunyi, mengingatkan Fitran akan kerapuhan eksistensinya, menggerogoti jiwanya dengan setiap kata penuh makna yang menjelma menjadi pancaran kegelapan.
Fitran menarik napas, dalam keheningan yang seolah menekan jiwa. Atau mungkin, dunia yang menghembuskan dirinya sendiri, menciptakan ruang kosong di dalam diri Fitran, seperti embun yang menempel pada dedaunan saat fajar menyingsing.
"Aku tidak ingin diingat," katanya, suaranya bergetar seperti bulir hujan yang jatuh ke tanah kering,
"Aku hanya ingin dunia ini tidak berakhir dalam kesia-siaan, seperti sisa-sisa mimpi yang perlahan sirna tanpa jejak."
Arista menoleh, tidak memiliki wajah untuk menolehkan, namun gerakannya memancarkan kesedihan yang dalam, seperti bayangan yang tertegun di bawah cahaya bulan purnama.
"Tapi bukankah kesia-siaan itu rumah kami?" pertanyaannya melayang, seolah semesta sendiri mengejek keputusasaan mereka.
Lalu... waktu membeku, menjadi saksi bisu dari ketiga jiwa yang terjerat dalam takdir yang sama.
Bukan karena mantra. Tapi karena ketiganya menolak waktu melanjutkan narasi, seperti penari yang berdiri di panggung, dihantui oleh ketakutan akan akhir cerita.
Dalam keheningan sempurna itu, sesuatu yang lebih dari kata-kata terbentuk di antara mereka: konvergensi eksistensial—keseimbangan rapuh antara harapan yang memudar dan kehampaan yang menunggu.
Fitran, sang pengingkar, menjadi jembatan antara dua dunia, terperangkap dalam pusaran keraguan.
Arista, sang yang dilupakan, menghadapi kegelapan yang merenggut kenangan, layaknya bintang yang tersesat di langit malam.
Faranox, sang kehampaan murni, mengisi ruang dengan keheningan, seperti lautan kosong yang enggan membentuk gelombang.
Dan satu pertanyaan muncul di ruang antara makna, menggantung di udara:
"Siapa yang pantas menjadi Voidwright sejati?"
"Yang menciptakan makna, yang hampa?"
"Yang menghapusnya, atau... yang tidak pernah memilih, terjebak dalam jaring waktu?"
Fitran berjalan perlahan, telapak kakinya menyentuh tanah kering dengan lembut, suara ketukan menciptakan gema dalam realitas, membangkitkan kenangan yang tersembunyi dalam kegelapan.
"Kita bertiga adalah hasil dari dunia yang tidak bisa memilih antara kenangan dan kehampaan, seperti sebuah lukisan yang setengah jadi, terlupakan di sudut galeri."
Ia berhenti di tengah, seolah sisa-sisa kekuatan tersedot oleh kehampaan di sekelilingnya.
"Maka biarlah kita memilih satu sama lain. Dalam pertarungan yang seolah tak berujung, merentangkan rasa sakit yang mendalam."
Arista mengangkat bonekanya, boneka yang tersiksa oleh cacat kelahiran. Dari mulut robek sang boneka, keluarlah tangisan tanpa suara yang menggema, membuat dinding realitas mengelupas, mengungkapkan keputusasaan yang terpendam.
Faranox mengangkat tangannya, dan dalam satu gerakan, dunia mulai kehilangan warna, seolah cat dinding yang mengelupas dan menghilang. Konsep pun mulai hancur—tidak ada 'kanan' atau 'kiri', hanya... ketiadaan struktural yang mencekam, menggenggam jiwa mereka dalam kegelapan yang abadi.
Dan Fitran, sang pembawa mahkota tak bernama, mengulurkan telapak tangan kirinya, seakan-akan ingin meraih sesuatu yang tak terjangkau—bayangan masa lalu yang tersisa, tipis dan membingungkan. Seperti daun kering yang terbang terbawa angin sepi, dia memanggil Void, entitas seram yang menyimpan setiap kesedihan dan kehampaan dunia.
"Biarlah Void kita saling menelan. Dan dari situ... dunia bisa memilih siapa yang ingin ia lupakan," suaranya terngkapnya bagaikan bisikan di tengah malam, tak lebih dari sebuah harapan yang tersisa. Dia mengamati saat-saat itu, ketika segala sesuatu yang ada menghilang dalam pelukan gelap, menciptakan simfoni kesunyian yang membuat semuanya terasa lebih nyata—lebih melankolis.
Pertarungan para Voidwright pun dimulai.
Di tengah ketidakpastian ini, bukan hanya sihir yang dilontarkan, tetapi juga konfrontasi antar konsep realitas. Mereka saling bertempur di antara bayang-bayang, seakan menginterogasi keberadaan satu sama lain dalam rancangan labirin yang tanpa ujung. Ya, setiap gerakan adalah sebuah elegi, menggambarkan perjalanan jiwa yang terperangkap dalam kehampaan.
YOU ARE READING
Memory of Heaven
FantasyDi dunia yang terluka oleh luka eksistensial dan kenangan yang terfragmentasi, Fitran Fate adalah salah satu dari sedikit orang yang masih berpegang pada kehendaknya sendiri. Namun, takdirnya terikat pada misteri kuno yang tersembunyi dalam akar Poh...
Chapter 66 Voidwright (6)
Start from the beginning
