Chapter 90 Language That Logic Cannot Smell

209 14 0
                                        

Atlantis, malam hari. Kabut tipis menggantung dalam udara yang sejuk, membungkus seluruh kota dalam pelukan misterius.

Hujan tidak turun, tapi kabut mengendap seolah tanah itu sendiri sedang bermimpi buruk. Suara ombak yang bergulung jauh di bawah seolah melengkapi ketegangan malam itu. Di balkon menara observasi keempat, Lady Freya berdiri membelakangi pintu, gaunnya yang halus meluncur lembut, sedikit terbuka di bagian punggungnya yang bertenaga, menyiratkan keanggunan yang berseberangan dengan keraguan di hatinya. Rambutnya basah oleh embun, menetes perlahan seperti air mata yang tak tertahan. Di tangannya—mantra deteksi sihir bergelombang bergetar dengan intensitas yang mencerminkan kegelisahan hatinya, melacak satu nama: Rinoa.

Freya, yang tumbuh dalam keluarga terpandang, selalu merasa tertekan dengan harapan tinggi yang melekat padanya. Cinta dalam pandangannya adalah sesuatu yang sempurna, namun ia terjebak dalam ketidakpastian, takut akan penolakan dan apa yang dapat terjadi jika dia mengungkapkan perasaannya. "Dia terlalu dekat padamu, Fitran..." gumamnya, senyumnya samar dan berkedip sejenak seperti bayangan. Mungkin senyumnya menyimpan kepedihan yang dalam; itulah yang terlukis jelas di wajahnya. "Dan aku tidak suka berbagi. Apalagi pada perempuan yang tidak tahu caranya mencintai."

Di balik tembok lain, Rinoa mencatat gerakan Freya melalui familiar berbentuk kupu-kupu aether—ia menyaksikan setiap lirikan mata Freya yang tajam, setiap desah napasnya yang bergetar, selaras dengan rasa cemas yang meresap di segenap jiwanya. Rinoa, seorang penyihir muda dari latar belakang yang berbeda, merasakan ketegangan yang mendebarkan di tulang punggungnya, berusaha menahan gelombang emosi yang membanjiri hatinya. Meski hatinya tidak bergetar karena cemburu terhadap Freya, sebaliknya, ia gemetar karena... takut kehilangan. Di depan matanya, sinar aether dari familiarnya bercahaya redup, seolah mencerminkan keraguan dalam dirinya. "Apakah semua ini hanya mimpi buruk? Apakah aku akan kehilangan Fitran hanya karena status sosial?" pikirnya, berjuang dengan ketidakpastian dalam hatinya, jari-jarinya bergetar saat memegang pena, menciptakan coretan yang tak teratur dalam catatannya.

"Aku tahu, Freya. Kau menginginkannya. Tapi dia milikku. Aku yang akan masuk ke Gamma bersamanya. Bukan kau." Suara Rinoa tegas, matanya menyala dengan determinasi, sementara tangannya mengepal kuat di sisinya, menahan gelombang emosi yang mengganas. Ada masa lalu antara mereka; sebelumnya, Rinoa dan Freya pernah berbagi senyuman dan tawa di festival magis, tetapi saat ini, kerinduan dan kebencian bercampur menjadi satu. Freya berdiri tegak, dagunya sedikit terangkat, memperlihatkan sisi angkuhnya yang kini retak ketika Fitran mulai diperhatikan oleh mereka berdua. Sedangkan di sudut matanya, air mata mengancam ingin jatuh, meluap dari rasa terancam akan kehilangan. Ia merasa terjebak dalam bayang-bayang momen-momen manis yang mereka bagi, dan ia tidak ingin melihat Rinoa merebut sesuatu yang telah ia impikan. Posisinya sebagai bangsawan mengharuskan Freya untuk terlihat kuat dan berkuasa, tetapi kesenjangan antara ekspektasi dan ketakutannya membuatnya merasa rentan, tubuhnya bergetar kecil menahan emosi yang berkecamuk.

Beberapa saat kemudian, suasana bergeser ketika mereka meninggalkan hiruk pikuk malam di Atlantis, beralih ke tempat yang lebih misterius. Atmosfer semakin menegangkan saat tempat itu menyelimuti mereka dengan bayangan yang dalam, lampu-lampu berkelap-kelip dari jauh menjadi latar belakang yang melankolis.

Di Laboratorium Neo-Gamma

Cahaya biru redup mengambang di udara, dinding-dinding penuh mantra eksperimental yang tidak disetujui Dewan. Di ujung ruang, benda-benda magis memancarkan cahaya lembut, seolah-olah merespons ketegangan yang melingkupi mereka. Dan di tengah ruangan, perubahan menjadi semakin jelas:

Sebuah wujud kecil—entitas yang tidak memiliki wajah, tetapi dari tubuhnya memancar irama yang membuat alat-alat sihir mengerang dan patah perlahan. Energi yang tidak terwujud itu tampak menari-nari di sekitar mereka, menciptakan suasana yang lebih mencekam lagi. Entitas itu diam, namun kehadirannya adalah suara bagi mereka yang bisa mendengar, dan momen-momen hening membuat detak jantung terasa menggema. Setiap detak adalah pengingat akan keputusan yang harus diambil dan emosi yang tak terungkapkan.

Memory of HeavenWhere stories live. Discover now