Chapter 61 Voidwright (1)

373 22 1
                                        

Beberapa Minggu setelah Arkanum Veritas Hancur,

Langit telah retak tiga kali sejak Fitran meletakkan pedangnya.

Di antara reruntuhan menara tua di utara dunia, ia duduk seorang diri, dikelilingi bisikan waktu dan kabut sihir yang menolak menguap. Tak ada lagi zirah suci di tubuhnya, tak ada lagi pancaran cahaya dari langit yang memeluk pundaknya. Yang ada hanyalah keheningan—panjang, dalam, dan menyerupai doa yang tidak pernah dijawab. Seolah keheningan itu sendiri adalah refleksi dunia yang semakin runtuh di sekitarnya, menciptakan jurang antara seorang Paladin dan harapan yang pernah menuntunnya.

Dunia menyebutnya Paladin.


Pelindung. Pembawa terang. Tangan kanan para dewa.


Namun Fitran sendiri... telah lupa bagaimana rasanya menjadi bagian dari langit itu.

Ia meletakkan pedangnya bukan karena takut, bukan karena kalah. Sebaliknya, ia meninggalkannya karena menyadari bahwa pedang itu hanya bisa menebas tubuh, bukan makna. Dalam kekosongan yang melingkupi jiwanya, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa makna—itulah yang telah lama menghilang dari dunia yang ia coba selamatkan, menciptakan keruntuhan lebih dalam dari benteng yang ia jaga.

Di menara itu, jauh dari keramaian dan konflik, Fitran mulai menyusun sesuatu yang baru. Bukan sihir seperti yang dipelajari di menara Atlantis, bukan pula dogma seperti yang dikhotbahkan oleh para imam Gaia. Ia menyusun sihir dari retakan-retakan dirinya sendiri; sebuah pencarian makna dari kehampaan yang tak bisa diisi, dan dari luka-luka yang tak bisa disembuhkan. Setiap usaha yang ia lakukan menjadi bagian dari perjalanan kolektif, menyentuh sisi gelap ketidakpastian yang kini merambah pekat dalam masyarakatnya.

Ia menyebutnya:

Magia Ex Nihilo


Sihir dari Ketiadaan.


Sihir yang tidak lahir dari elemen, tidak tumbuh dari struktur, tapi memancar dari eksistensi yang ditinggalkan. Sementara perubahan dalam diri Fitran menciptakan kekosongan yang dalam, dunia di sekelilingnya pun bergetar—terdengar suara-suara samar dari tempat-tempat yang dulu dikenalnya, seakan menjadikannya saksi bisu atas kehampaan yang ditinggalkan.

Sebuah bahasa baru yang hanya dimengerti oleh mereka yang telah kehilangan segalanya, namun masih memilih untuk berdiri. Ketika ia keluar dari menara itu, dunia tidak mengenalinya lagi. Jubah hitam kelam menggantikan zirah suci, simbol transformasi yang membuatnya terasa lebih jauh dari sosok yang pernah menjadi pelindung. Tongkat tua, terbuat dari tulang naga dan akar dunia yang dikeringkan oleh waktu, menggantikan pedang kepercayaan, membuat para penduduk merasa ketidakpastian dalam setiap langkahnya. Cahaya yang dulu menyertainya berubah menjadi abu lembut yang membentuk lingkaran di sekitar kakinya setiap kali ia melangkah.

Dan dunia, yang pernah mengandalkannya, kini memandangnya dengan takut dan takjub. Jejak kebangkitan dan kejatuhan menyatu dalam satu tarikan napas. "Apakah dia masih Paladin?" bisik seorang ibu, mencerminkan keraguan yang menggantung di udara. "Tidak," jawab seorang tua dengan suara gemetar, seolah mengakui bahwa harapan telah sirna. "Dia telah meninggalkan cahaya."

Namun bahkan dalam bisik-bisik itu, orang-orang tetap datang. Meminta pertolongan. Memohon keajaiban. Menggantungkan harapan mereka pada sosok yang kini tak lagi berpihak pada terang atau gelap, namun di dalam ketidakpastian itu, mereka menemukan bayangan pernah berupa pahlawan.

Dan Fitran, dengan sorot mata yang menatap menembus waktu dan jiwa—sebuah kekosongan yang merefleksikan kerinduan akan identitasnya yang hilang—menjawab mereka dengan suara yang lembut, namun penuh bobot:

"Aku bukan lagi Paladin. Aku bukan pula penyihir seperti yang kalian kenal. Aku hanyalah ia yang mendengarkan. Dan dari kehampaan yang kau tinggalkan, aku akan menciptakan sesuatu yang baru."

Memory of HeavenWhere stories live. Discover now