Chapter 64 Voidwright (4)

465 26 4
                                        

Di atas dataran kristal yang mengambang di langit senja, di mana realitas terasa rapuh dan sihir menjadi hukum yang lebih tua dari waktu itu sendiri, dua belas sosok berjubah biru kelam berdiri dalam formasi lingkaran yang megah. Di tengah mereka, berdiri Lord Albrecht Ironveil, penjaga ketertiban, pemegang pedang suci Lumine Veritas, pancaran harapan terakhir umat manusia.

Angin tak bergerak, menciptakan suasana hening yang mendalam. Langit seolah tidak berkedip, dan waktu seperti menahan napas dalam ketegangan yang dirasakan oleh semua makhluk di sekitarnya. Namun, saat Fitran muncul, warna-warna di sekelilingnya mulai memudar, bagaikan lukisan yang tertutup kabut kelabu yang menyelimuti setiap detail keindahan. Dataran yang sebelumnya berkilau kini tampak retak dan suram, menyerupai cermin yang dipaksa mencerminkan bayangan gelap dari segala sesuatu yang ada di dalamnya. Tiap langkahnya mengubah kasur awan di bawahnya menjadi riak gelombang yang mengguncang keberadaan semua makhluk yang berada di sekelilingnya.

Bau kemenyan yang menyengat menggantikan aroma segar dari tanaman yang tidak terlihat, menciptakan suasana yang kian menyesakkan. Cahaya senja meredup, seakan matahari bersembunyi dari kenyataan pahit yang akan menghampiri mereka. Dalam keheningan yang mencekam ini, para Magus merasakan kehadiran Fitran seperti badai mendekat—menakutkan dan tak terelakkan. Tanpa peringatan, bayangan hitam mulai merayap dari segala arah, menutupi dasar langit dengan tirai kegelapan yang berlebihan, menciptakan zona yang seakan merenggut kebebasan, menarik napas dari mereka yang berdiri di situ.

Lalu, dari ujung dataran, muncul Fitran.

Ia melangkah perlahan, tidak membawa senjata, dan tak menampakkan sihir. Namun, di belakangnya, bayangan dunia seakan terlipat, melengkung, dan meringkuk dalam ketakutan yang mendalam. Seluruh lingkaran yang sebelumnya dipenuhi oleh keyakinan kini dipenuhi dengan keraguan yang mencekam dan ketidakberdayaan. Setiap langkahnya yang menghentak tanah yang memudar, seolah-olah dunia di sekelilingnya menyusut, mereduksi kenyataan menjadi sebuah ilusi yang rapuh dan tidak dapat dipahami. Para Magus mengamati dengan mata yang melebar, setiap detak jantung terasa semakin berat, seakan kehidupan perlahan-lahan disedot keluar dari tubuh mereka, menimbulkan rasa cemas yang menggelayuti suasana.

"Kau akhirnya datang," suara Ironveil menggema di udara, berat dan angkuh, seperti lonceng penghakiman yang mengumumkan sebuah keputusan tak terelakkan. "Demi nama umat manusia dan sisa-sisa keadilan, kami di sini untuk menghentikanmu, Fitran."

Fitran tidak menjawab. Ia hanya menatap Albrecht satu detik yang panjang, kemudian menelusuri wajah dua belas Magus yang berdiri di hadapannya. Ia mengenali mereka; memang, ia pernah mengajari sebagian dari mereka, menuntun mereka dalam perjalanan belajar, melihat mereka menggapai pemahaman di antara hukum sihir dan hukum jiwa yang rumit.

Salah satu Magus melangkah maju, sosok itu adalah Magistra Elei, penguasa sihir kronomansi yang dikenal. Aura magisnya bergetar dengan kekuatan yang terukur, seakan waktu dan ruang bergetar di bawah langkahnya.

"Fitran, kami tidak ingin meruntuhkanmu," ujarnya tegas, bahkan dalam nada suaranya, terungkap harapan untuk pengertian. "Kami berusaha memahami dirimu, tapi kau telah menolak segala macam pemahaman. Kau telah bertransformasi menjadi sesuatu yang tak dapat dijangkau oleh hikmah. Kami tidak punya pilihan lain selain membendungmu dan mengembalikan keseimbangan."

Fitran tersenyum, senyuman yang menyiratkan kepercayaan diri dan ketenangan di tengah badai yang menderu. "Pemahamanmu... hanyalah ilusi yang dibentuk oleh ketakutan. Aku tidak memusnahkan dunia. Aku membebaskannya dari identitas yang dipaksakan oleh ketakutan dan kebingungan," katanya, suaranya penuh ketegasan, seakan menegaskan kebenarannya di hadapan para Magus yang masih ragu.

Albrecht mencabut Lumine Veritas, dan saat pedang itu menyala, simbol-simbol kuno menyebar di udara seperti bintang-bintang yang tiba-tiba muncul dalam kegelapan malam. Di tengah suasana yang tegang, dua belas mantra agung diucapkan serempak oleh para Magus Atlantis, suaranya bergema seolah-olah mengalun dari kedalaman laut yang dalam.

Memory of HeavenWhere stories live. Discover now