Chapter 66 Voidwright (6)

Start from the beginning
                                        

Ia menutup matanya. Dalam sekejap, semua kenangan Vorrak—yang seharusnya telah musnah—berdesir kembali seperti abu yang menari, menggeliat dalam bayangan-bayangan kelam, berputar seperti terperangkap dalam pusaran tak berujung. Setiap serpihan memorinya menari layaknya rahasia yang terpendam, menyisakan rasa lapang yang menyesakkan.

Vorrak, saudaranya dalam kekosongan yang melingkupi. Vorrak, yang Fitran bunuh dengan mahkota yang tak bisa dinamai, seakan merintih dalam keheningan. Keberadaannya seolah menyatu dengan angin malam, yang berbisik lembut, membawa kesedihan berabad-abad.

Dan kini... Void tidak menerima kematian itu. Dia, sang kekosongan, berdiri tegak bagaikan raksasa berbayang, tidak hanya menelan cahaya, tetapi juga harapan. Ia memuntahkan sisa-sisa jiwa yang terputus, membentuk dua anak baru dari kesedihan yang tak terkatakan:


Yang satu lahir dari luka yang tidak punya nama, seakan menyebarkan aroma kesedihan yang menyeru apa itu kehilangan.


Yang satu lahir dari kesempurnaan yang tidak punya makna, seperti hantu yang tertawa dalam keheningan, mempertanyakan eksistensi dalam ketidakpastian.

"Void tak pernah diam, ternyata," gumam Fitran, suaranya tersimpan dalam ruang hampa. "Ia hanya menunggu untuk menjawab." Seolah berlarian mengejar bayangannya sendiri, kata-katanya tersimpul dalam kesunyian.

Ia melangkah ke jendela waktu, merasakan detak jantungnya menyatu dengan wajah-wajah masa lalu yang memudar. Setiap langkah bagaikan satu lagi goresan pada kanvas kehampaan.

Di ruang pengamatan realitas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang menolak dilahirkan, Fitran memanggil sisa dari Nameless Crown—sebuah getaran di antara urat realitas, yang berdengung lembut seperti desahan peluh dalam ketegangan. Ia tidak menggunakannya. Ia mendengarkannya. Lebih dari sekadar suara, itu adalah nafas Void sendiri, bergema dalam kebisuan.

Dan mahkota itu berbicara seperti suara angin yang melintasi padang sunyi.
Bukan dengan kata. Tapi dengan penolakan. Penolakan yang menusuk, seolah memberi tahu bahwa setiap impian, setiap harapan, adalah ilusi yang terperosok dalam kehampaan yang melingkupi.

"Kau membunuh Vorrak," kata suara itu, bergema di antara ruang hampa, seolah memecah kesunyian yang menempel pada bayangan yang menyelimuti Fitran.


"Tapi kau membebaskan sesuatu yang bahkan Void sendiri takutkan."

Fitran menarik napas, perlahan, seolah setiap deru napasnya adalah jembatan menuju ketidakpastian.


Rasa sesak mulai merayapi dadanya, mengingatkannya akan kehadiran sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjuangan dan pengorbanan.

"Jika Void kini berani bermimpi..." katanya, suaranya bergetar seperti ranting yang dipaksa tumbuh di tanah kering, "...maka aku harus bersiap untuk membunuh mimpi."

Namun di dalam dirinya, jauh lebih dalam dari rasa bersalah yang menghantuinya, lebih sunyi dari gemuruh bising hati yang berdebat dalam pertempuran antara benar dan salah... Fitran merasa gentar.

Ia merasa seolah raga dan jiwanya terjepit di antara dua dunia, terperangkap dalam selubung kesepian yang pekat, seolah Void itu hidup, menatapnya dengan mata kelam, penuh keraguan yang membunuh.

Bukan karena kekuatan Arista, yang mengalir seperti arus sungai tak terhentikan, yang dapat menghancurkan ordo dunia.


Bukan karena kesempurnaan Faranox, yang berkilau seperti bintang di langit malam, memberi harapan namun juga menyoroti kesepian yang menyakitkan.

Tapi karena... ia tidak tahu apakah ia benar-benar ingin menang.

Karena jika ia menang, dunia akan tetap mengingatnya sebagai pemilik mahkota yang menolak nama, tertulis dalam sejarah yang kelam, terpenjara dalam ingatan sebagai pengkhianat.
Dan jika ia kalah...

Memory of HeavenWhere stories live. Discover now