36🥀

117 8 1
                                    

"Gimana pekerjaan kamu, Han?"

"Alhamdulilah, Pak. Semuanya lancar, cuma kadang-kadang ada sedikit hambatan." Pria paruh baya itu menganguk mendengar penjelasan sang calon menantu, lalu meneguk pelan kopi yang ia buat beberapa waktu lalu.

"Tunggu sebentar ya! Sahira tadi keluar katanya mau beli barang. Tapi gak tau kenapa masih belum pulang," tutur Pak Akhmad sembari melihat jam tangan hitam yang setia bertengger di tangannya.

Gus Reyhan menganguk lalu meraih teh hangat dan bersiap meminumnya. "Tidak apa kok, Pak. Lagi pula saya kan gak ada janji tadi mau kesini."

Selesai metting dengan kliennya tadi. Gus Reyhan ingat bahwa jalan yang ia lalui adalah jalan yang searah dengan kediaman keluarga Akhmad. Jadi ia putuskan untuk mampir ke rumah calon mertuanya itu.

Tak pantas rasanya jika bertamu ke rumah seseorang tak membawa apa-apa. Sebelumnya Gus Reyhan memutuskan untuk membeli cake di toko. Lalu tak lupa ia membawakan mawar merah segar untuk gadisnya. Yang ia beli dari salah satu toko bunga yang ia lewati.

Hanya berharap semoga Sahira menyukai bunga merah berduri itu. Gus Reyhan bukanlah penakluk wanita. Yang bisa mudah melakukan hal-hal romantis. Dia itu sosok pemalu, dan mungkin baru kali ini ia membeli bunga untuk seorang gadis.

Pak Akhmad dan Gus Reyhan sama-sama menunggu Sahira sambil menikmati tayangan yang disuguhkan di televisi. Sesekali mereka bercanda bersama, membahas beberapa hal. Tak jarang juga Pak Akhmad menanyakan perihal pekerjaan Gus Reyhan yang dirasa semakin berat dan banyak.

Menjadi wakil direktur bukanlah mimpi Gus Reyhan selama ini. Kini ia juga harus keluar masuk kota orang, demi memajukan perusahaan pamannya. Bersyukur, itu pasti, namun tetaplah semua ini begitu berat baginya.

Terkadang dalam sehari ia bisa metting berkali-kali. Bertemu klien bukanlah hal yang mudah. Apalagi saat sudah bertemu klien cerewet dan sulit untuk diajak berdiskusi. Namun sejauh ini, Gus Reyhan cukup bersyukur karena klien yang ia hadapi begitu ramah dan baik.

"Bapak titip Sahira sama kamu ya, Han! Bapak percaya kalau kamu akan jadi imam yang baik untuk putri bapak. Tolong jaga dia dengan sebaik-baiknya. Perlakukan dia seperti ratu kamu. Tolong hormati dia seperti kamu menghormati Mbak Fatimah.

"Bapak cuma bisa mengharapkan itu, bapak gak bisa selamanya sama Rara. Bapak harap kamu jaga dia baik-baik, jaga dia seperti kamu menjaga ibumu. Jangan pernah rusak kepercayaan bapak ke kamu. Bapak harap kamu akan menepati janjimu pada Sahira." Pak Ahmad bertutur, membuat mata pemuda dua puluh enam tahun itu berkaca-kaca.

Menatap lekat calon mertuanya yang kini tengah menunduk menahan tangis. Entah kenapa, ungkapan Pak Akhmad seolah menyimpan sesuatu yang begitu berat. Seolah dia benar-benar akan meninggalkan Sahira dalam waktu dekat.

Gus Reyhan yang sedikit tercengang mendengar penuturan calon mertuanya itu, terdiam sejenak. Menata kalimat yang akan ia ucapkan untuk calon mertuanya.

Menarik nafas panjang lalu membukanya kasar. "Iya Pak. Reyhan akan tepati janji Reyhan. Reyhan akan benar-benar membahagiakan putri Bapak. Begitupun Bapak, akan melihat kami berdua bahagia. Bapak lah orang pertama yang akan melihat wajah bahagia Sahira."

"Assalamualaikum!" suara penuh kebahagiaan itu memecah suasana.

Suasana yang tadinya sendu kini menjadi kembali normal sebab kedatangan putri semata wayang Pak Akhmad. Sahira sudah datang dengan banyak kantung plastik ditangan. Setelah berbelanja beberapa jam di supermarket.

Langkah mungilnya itu sempat tertahan di ambang pintu. Mengapa pemuda yang telah menyematkan cincin di jarinya. Tengah duduk dengan ayahnya. Sejak kapan pemuda itu datang. Begitu banyak pertanyaan dalam hatinya. Namun sebisa mungkin ia tepis dan segera menuju dapur untuk meletakkan semua barang yang ia beli.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Where stories live. Discover now