11🥀

138 9 0
                                    

Sahira kembali duduk dan melanjutkan aktivitasnya. Ia merasa sangat kesal pasalnya, baru kali ini Pak Akhmad bersikap seolah-olah Sahira tak begitu penting baginya.

Dulu, saat Sahira ikut kegiatan perkemahan di Lamongan. Pak Akhmad bisa menelponnya tiga kali dalam sehari, terkadang juga lebih dari itu. Jangankan menolak telepon tak menjawab pertanyaan Sahira saja ia akan merasa menyesal.

Tapi entahlah kini ia berhasil membuat Sahira marah. Harapan Sahira melepas rindu, hanya dengan satu telepon, kini telah hancur. Hari ini, mungkin adalah hari yang paling menyesak dadanya.

Mungkin berteman dengan kertas dan pensil adalah pilihan terbaik kali ini.

Ponsel Sahira kembali berdering. Secepat mungkin ia meraih ponselnya. Berharap ayahnya menelponnya lagi untuk meminta maaf.

Naas, bukan Pak Akhmad yang menelpon. Wajah yang tadinya mengeluarkan lesung pipi, kini kembali kusut seperti baju yang tak disetrika.

Ia menatap dalam layar ponselnya dengan wajah bingung, siapa yang menelponnya. Sebuah nomor tertera disana, tanpa nama. Apa mungkin nomor yang sedang nyasar, atau telepon dari jodoh yang tak terduga. Karena penasaran Sahira menggeser panel hijau disana.

"Assalamualaikum, dengan siapa ya?" ucap Sahira halus sembari mengigit kecil bibir bawahnya.

"Waalaikum salam. Ini aku Rico!" Ternyata makhluk itu yang menelpon, entah dapat dari mana ia nomor telepon Sahira. Gadis yang mendengar penuturan Rico terkaget hebat.

"Ada apa, ya?" tanya Sahira singkat. Baru kali ini ia berbicara dengan seorang pria yang bukan mahramnya lewat telepon.

Ia memang pernah berbicara pada pria lain selain ayahnya, yaitu sepupunya. Selama itu pula belum pernah Sahira menyimpan nomor telepon pria asing, kecuali mereka para alumni penghuni grup.

Itupun tidak banyak, hanya ada satu sampai tiga saja, para penghuni grup yang meminta Sahira untuk menyimpan nomor teleponnya. Kebanyakan para bidadari yang mendiami WhatsApp-nya.

"Gak apa-apa, cuma pengen tau aja keadaan kamu. Kamu sehat kan?" tanyanya dengan penuh perhatian.

"Alhamdulilah, aku sehat."

"Jangan lupa save ya! nomorku," pintanya dan Sahira hanya bisa mengiyakan untuk permintaan itu.

"Kapan balik, Ra. Ngga kangen apa sama rumah?" tanya Rico lagi.

"Masih lama."

Suara derap langkah itu mengusik Sahira, takut temannya datang secara tiba-tiba. Ia pun segera mengakhiri sambungan teleponnya.

"Udah dulu ya, Co! Aku masih ada urusan, Assalamualaikum!" Sahira mengakhirinya. Mungkin Rico merasa kecewa pada Sahira karena hanya menjawab teleponnya sebentar.

Benar saja dugaannya, tenyata Sarah dan yang lain sudah sampai di ambang pintu. Mereka mengucap salam, lalu masuk ke kamar.

Vivin mendekat pada Sahira, seusai menaruh mukenahnya diatas ranjang. Ia mendapati tumpukan kertas dimeja Sahira.

"Wiss! Apik tenan Iki, Ra," ucapnya dengan tangan meraih lembaran kertas, yang telah disulap Sahira sedemikian rupa, sehingga menjadi gambar yang indah.

"Bisa aja kamu?" jawab Sahira.

Sarah dan Putri ikut mendekat, mereka juga turut meengamati gambar Sahira. Mereka begitu kagum dan takjub melihat gambar hasil polesan Sahira.

"Nanti kalo aku nikah. Aku pesen baju ini ya, Ra," ucap Vivin lagi. Sembari menunjukan sebuah gambar gaun pengantin, yang diberi polesan warna merah muda.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Where stories live. Discover now