20🥀

154 8 0
                                    

Ini adalah hari kesekian dimana Sahira akhirnya bisa kembali ke pesantren. Kini ia dapat berjumpa kembali dengan kawan-kawannya.

Selesai melaksanakan salat Subuh berjamaah. Sahira dan ketiga kawannya itu memutuskan untuk melakukan joging. Sembari menikmati udara sejuk disekitaran pesantren.

Mereka berjalan tanpa alas kaki. Mengelilingi halaman depan pesantren, sambil berlari-lari kecil.

"Kita kangen banget tau, sama kamu, Ra. Dua Minggu nggak ada kamu rasanya sepi banget," ungkap Vivin.

"Iya bener itu, rasanya dua Minggu udah kayak dua tahun," sambung Putri.

"Kalian mah, lebai deh."

"Iya beneran, Ra."

Mendengar pembicaraan itu Sarah hanya diam tak menanggapi. Ia juga merasa senang kini Sahira bisa kembali ke pesantren dan berkumpul bersamanya.

Matahari rasanya sudah mulai memanas. Selesai dengan joging kecilnya, mereka kembali ke asrama.

Sesampainya di kamar mereka bergotongroyong membereskan kamar. Merapikan ranjang, menyapu, dan melakukan banyak hal. Lalu melakukan ritual beranama mandi itu.

Setelah membersihkan diri secara bergantian. Mereka bergegas menuju ke dapur pesantren. Untuk mengambil jatah sarapan mereka.

Berjalan perlahan menuju dapur sambil sesekali mengobrol dan tertawa bersama. Sangat indah disaksikan ke-empat bidadari berhijab ini.

Di tengah perjalanan mereka mendapati sosok Gus Reyhan tengah berdiri di depan rumahnya.

"Itu Gus Reyhan. Aduh, ganteng banget," ucap Vivin. Yang membuat Putri geram lalu menepuk jidatnya.

Saat berada tepat di depan Gus Reyhan, entah apa yang ada di pikiran Vivin sehingga ia menyapa Gus Reyhan. Menyapa memang tidak salah, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk menyapa putra tampan Bu Fatimah.

"Pagi, Gus Reyhan," sapa Vivin. Membuat Gus Reyhan mengeluarkan senyum indahnya. Lalu membalas sapaan Vivin dengan anggukan.

Setelah agak jauh dari tempat berdirinya Gus Reyhan inilah saatnya Vivin dihakimi masa.

"Kamu ini ngawur banget. Pake acara nyapa Gus Reyhan lagi, kamu nggak malu apa?" omel putri.

"Lah, emang apa salahnya? Menyapa kan baik," ucap Vivin membela diri.

"Ah ... udah udah berantem terus. Nanti nggak kebagian jatah sarapan baru tau, loh," lerai Sarah.

Putri dan Vivin nampak cengengesan mendengar perkataan Sarah. Lalu merekapun melanjutkan perjalanan. Menuju dapur pesantren.

•••••••••••••••••••

Antrean panjang para santrriwati sudah seperti barisan kereta api. Sahira, Sarah, Putri, dan Vivin pun turut dalam antrean.

Di tempat pembagian terlihat Rumi tengah kewalahan memasukkan nasi dan lauk pauk dalam wadah. Walau dengan dibantu beberapa khadimah.

Mungkin hukuman ini adalah hukuman terberat Rumi. Bagaimana tidak, selesai salat subuh yang biasanya ia akan bersantai. Kini ia harus datang ke dapur membatu memasak makanan. Lalu menghidangkannya.

Berjam-jam berdiri hanya untuk menghidangkan makanan. Lalu setelahnya ia harus mencuci peralatan masak yang kotor. Ya ... itu adalah buah dari kelakuannya sendiri.

Satu persatu santriwati yang sudah mendapatkan jatah sarapannya pun segera pergi. Biasanya mereka akan mencari tempat duduk, untuk menyantap sarapananya.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang