29🥀

115 9 0
                                    

"Kita bisa bicara di luar?" tanya Gus Reyhan ragu pada Sahira. Sahira menatap Bu Fatimah dan Pak Akhmad bergantian dan mereka membalasnya dengan anggukan.

Gus Reyhan melangkahkan kakinya menuju halaman depan diikuti Sahira di belakangnya. Setelah sampai mereka duduk di kursi kayu yang ada di bawah pohon talok.

Mereka tidak berdua, di halaman sana sangat ramai. Ada banyak santriwan dan santriwati berkeliaran. Jadi mereka tidak hanya berdua. Sahira duduk di ujung kursi bagian kanan dan Gus Reyhan sebaliknya.

"Kalau boleh tau, ada hal pemting apa yang ingin Gus Reyhan, sampaikan pada saya?" tanya Sahira membuka percakapan yang terasa canggung itu.

Gus Reyhan menghela nafas. Mengumpulkan semua keberaniannya untuk berbicara. Entah kenapa tangannya mulai basah oleh keringat tubuhnya menjadi dingin dan detak jantungnya kian semakin kencang.

Gus reyan menunduk. "Saya ingin mengkhitbah kamu!" ucap Gus Reyhan dan membuat Sahira kaget, ia menatap ke arah Gus Reyhan begitupun sebaliknya sehingga netra mereka bertemu. Perasan canggung itu kian memberontak.

"Entah kenapa? Saya juga tidak tahu, dalam pikiran saya selalu ada kamu. Bahkan tak ada satupun detik yang terlewat oleh bayangan wajah kamu.

"Mungkin kamu kaget dengan apa yang saya katakan. Tapi, apa yang saya katakan benar adanya. Setiap saya melihat wajah kamu, saya seperti menemukan sebuah berlian indah, dan berlian itu ditujukan untuk saya.

"Saya bukan seorang yang pandai merangkai kata-kata. Saya juga bukan orang yang suka memaksakan kehendak hati orang lain. Semua pilihan saya serahkan pada kamu. Entah kamu menerimanya atau tidak, saya akan terima keputusan itu dengan sebaik-baiknya.

"Saya tau, mungkin ini terlalu cepat untuk kamu. Namun saya tidak mau terus membayangkan wajah kamu, yang hanya memberi ladang dosa untuk saya," jelas Gus Reyhan dan Sahira mendengarkannya penuh haru.

"Gus Reyhan orang yang baik. Gus Reyhan juga orang yang banyak dipandang. Sedangkan saya, saya hanya anak dari seorang dokter, yang baru mengenal dunia pesantren. Saya bukan orang yang baik Gus. Membaca ayat suci pun tak selancar, Njenengan. Saya merasa tidak pantas jika seorang Gus seperti Njenengan, berniat mengkhitbah saya." Tak terasa cairan bening itu membasahi pipi merah Sahira.

"Saya tidak secantik Khadijah, tidak setulus Aisyah, bahkan jika disamakan pun saya bukan apa-apa. Saya hanya orang biasa Gus dan tak pantas jika harus bersama Njenengan," tutur Sahira.

Bingung! Itulah yang dirasakan Sahira. Disamping ia merasa bahagia karena seorang Gus Reyhan mantap menjatuhkan hati padanya. Ia juga merasa tak pantas diri jika harus bersanding dengan putra Kyai yang ia hormati selama ini.

"Manusia tidak perlu dipuji untuk menjadi cantik. Sejatinya tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Seperti kamu yang memiliki kekurangan begitupun saya juga memiliki kekurangan.

"Allah menciptakan manusia berpasangan pasangan bukan untuk saling merendahkan diri. Tapi untuk saling menutupi dan melengkapi kekurangan satu sama lain. Masih banyak orang di luar sana yang lebih baik dari saya."

Cairan bening itu kian mengalir dengan derasnya. Mendengar perkataan Gus Reyhan hati Sahira bak disambar petir berkali-kali. Sahira mengambil nafas dalam. Mencoba merangkai setiap kata untuk menjawab permintaan Gus Reyhan.

"Saya bisa memahami perasaan, Njenengan. Begitupun apa yang saya rasakan selama ini. Saya tidak bisa berbuat banyak untuk semua permintaan Njenengan. Jika ayah menyetujui ini, insyaallah saya mau menerima Njenengan," kata Sahira dengan kepal tertunduk.

Gus Reyhan tampak menghela nafas lega. Mendengar perkataan Sahira ia merasa tak ada yang sia-sia dari usahanya mengumpulkan semua keberaniannya.

"Saya akan bicarakan ini dengan Pak Akhmad, saya janji akan berusaha menjadi sebaik-baik imam untuk kamu. Saya akan berusaha memenuhi semua keinginan kamu. Saya akan berusaha membuat kamu menjadi wanita terbahagia di dunia ini. Saya akan...."

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum