40🥀

62 10 5
                                    

Seorang pemuda dengan pakaian khas rumah sakit. Terduduk diatas kursi roda, mengarahkan pandangannya ke sudut jendela. Tampak seperti hari-hari baiknya, ia masih sama dengan senyuman yang mengembang bak bulan sabit. Walau selang bantu pernapasan masih menempel di hidungnya. Terlihat pula tangannya yang masih terhubung dengan selang infus.

Meski nampak diam, tetapi dalam hatinya selalu melantunkan shalawat teruntuk nabi terakhir yang membawa semua umat menuju kebaikan dunia.

Otaknya pun kembali merespon segala kenangan masa lalu. Mengingat betapa bahagianya dirinya dengan orang-orang yang ia sayangi. Mengingat luka-luka yang pernah ia sembuhkan dengan iringan semangat dari orang-orang terdekatnya.

"Reyhan!" Sebias suara pemecah hening berhasil membuat kepalanya menoleh.

Sosok wanita paruh baya dengan mata memerah dan pipinya yang basah sebab butiran kristal yang berhasil menerobos pertahanannya. Mendapati sang putra dengan wajah pucat pasi, yang kini menatap dirinya dengan sebuah senyum penuh keikhlasan.

Ia berjalan gontai menghampiri putranya, menekuk kedua lututnya demi mensejajarkan tinggi. Meraih tubuh putranya untuk berada dalam dekapan. Begitupun Gus Reyhan membalas dekapan ibundanya tak kalah erat.

Jiwa yang hampir putus asa itu, kini kembali menjadi jiwanya yang semula. Jiwa yang selalu ingin menjadi bahagia untuk anak-anaknya, jiwa yang selalu ingin menjadi sosok terbaik dalam hidup putra-putranya. Tidak ada hal lain selain rasa syukur yang terucap dalam bibir Bu Fatimah, saat dirinya mendengar bahwa putra yang begitu ia cintai telah terbangun dari komanya.

"Ummi kangen sama kamu ... " lirihnya semakin mengeratkan pelukan, sudah tak sanggup lagi menahan kerinduan. Air mata yang tadinya sedikit terbendung, kini ia tumpahkan.

"Ummi gak perlu kangen, Reyhan selalu ada di sisi Ummi kok. Reyhan gak akan kemana-mana." Mendengar hal itu Bu Fatimah melepaskan pelukannya, beralih menangkup kedua pipi sang putra, menatap kedua netra putranya yang nampak begitu tenang meskipun menyimpan luka di tubuhnya.

"Janji. Jangan pernah tinggalkan Ummi. Ummi paling gak bisa lihat kamu sakit Han ... Ummi gak bisa. Jikalau perlu, lebih baik Ummi yang sak ... " ucapanya terhenti kala telunjuk sang putra menutup mulutnya.

Gus Reyhan, dengan lembut mengusap pipi ibunya yang basah karena air mata. Lalu memegang kedua tangan ibunya, meskipun dirasa sedikit ngilu tangannya yang masih terhubung dengan infus.

"Ummi jangan ngomong gitu, kalau Ummi sakit Reyhan akan jadi orang pertama yang menangis melihat itu. Ummi tahu? Reyhan paling gak bisa lihat ummi sakit. Ummi harus tetap sehat seperti ini, supaya bisa lihat Reyhan bahagia nantinya ... bisa menyaksikan kesuksesan Reyhan." Bibir kemerahan itu terus bergumam melontarkan kalimat-kalimat penyemangat untuk sang ibu. Meskipun dengan suara lemah khas orang yang sedang sakit.

Mendengar hal yang baru saja diucapkan putranya, Bu Fatimah kembali merengkuh tubuh sang putra kedalam pelukannya. Kembali melupakan tangis bahagianya yang tertahan selama seminggu ini.

Ia benar-benar merindukan putranya. Bahkan jikalau kesehatan putranya bisa ditukar dengan separuh dari nyawanya maka ia akan memberikan itu. Putranya adalah segala-galanya baginya. Harta terbesar dalam hidupnya, kekuatan terhebat penyembuh lukanya. Bahkan saat ia harus berusaha menjadikan kepalanya sebagai kakinya demi membesarkan putra-putranya, ia akan tetap melakukannya.

•••••••••••••

"Kamu yakin gak mau masuk?"

"Sahira gak berani, Bi," balas Sahira. Matanya memerah hebat, menahan tangis sejak perjalanannya menuju rumah sakit. Perasaannya benar-benar campur aduk, antara bahagia dan sedih.

Sejak tadi dirinya hanya duduk di depan ruang rawat Gus Reyhan. Hatinya diliputi kegelisahan tentang masuk atau tidaknya dia kedalam ruangan. Padahal sendari tadi Kyai Khalid sudah menyuruhnya pula meyakinkan dirinya untuk segera masuk.

"Apa salahnya, Nak. Setidaknya kamu temani Ummi di dalam, masuklah!" Kyai Khalid kembali bertutur.

Antara yakin dan tidak gadis berhidung mancung itu mengangguk, lalu melangkahkan kakinya yang entah mengapa sekarang ini menjadi terasa sedikit berat gak tertimpa bongkahan batu. Menarik napas lalu menghembuskannya kasar, gadis itu melangkah pelan memasuki ruangan.

Pintu kamar yang tertutup rapat ia buka perlahan, sangat perlahan hingga tak menimbulkan suara. Seiring pintu yang semakin terbuka lebar, hatinya terus berdesir, antara perasaan takut dan bahagia yang bercampur menjadi satu.

Sekian detik kemudian pintu itu benar-benar terbuka. Menampakkan sosok Bu Fatimah yang sedang memeluk sang putra. Sahira juga dapat melihat dengan jelas wajah Gus Reyhan yang ia benamkan pada tengkuk sang ibunda. Wajah pucat pasi, wajah yang selama beberapa hari ini tak pernah tersenyum lagi, kini sedang tersenyum sembari menutup mata dalam dekapan sang bunda.

Bersamaan dengan itu, setetes kristal bening berhasil menerobos pertahanannya. Membasuh pipi merahnya, tetapi dengan cepat ia menghapusnya, tak ingin membuat kekhawatiran saat Bu Fatimah melihatnya.

"Assalamualaikum!"

Bu Fatimah dan Gus Reyhan yang tersadar akan kehadiran seseorang pun melonggarkan pelukan, beralih menatap sosok gadis yang kini berdiri di ambang pintu. Menatap sosok anak dan ibu dengan mata memerah sebab menahan tangis.

"Nak, kemari!" Mendengar hal itu Sahira kembali melangkah mendekati Bu Fatimah. Tangannya meremas rok hitam yang ia kenakan, sekuat tenaga menahan tangisnya agar tak menerobos keluar.

Kini ia akan kembali berbincang dengan sosok yang beberapa minggu ini tak lagi mengunjunginya. Tak lagi memberi candaan untuknya. "Dia siapa Mi?"

°°°°°°°°°°

Aku buntu kata and maaf banget udah jarang update, aku harap kalian tetep support untuk kelanjutan cerita ini. Aku gak tau kalian suka atau gak.

Disini aku minta pendapat kalian, buat yang mau cerita ini lanjut silahkan komen next kalau gak suka silahkan komen stop. Aku takut kalian kecewa sama endingnya, and kecewa sama aku yang jarang update.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang