15🥀

125 8 0
                                    

"Alhamdulilah pasien sudah melewati masa kritisnya. Tapi saya heran, kenapa pasien bisa meminum racun berbahaya itu?" Mereka yang mendengarnya menggelengkan kepala sebab tak tahu.

"Memangnya racun apa itu, Dok?" tanya Pak Akhmad penasaran.

"Sebuah racun yang bisa ditemukan di alam, pestisida, dan produk bangunan dan juga beberapa proses industri. Yang bila sengaja atau tidak sengaja dikonsumsi dengan dosis tinggi bisa merenggut nyawa pasien." Pak Akhmad kaget akan bahayanya racun itu. Beberapa kali ia mengucap syukur karena putrinya baik-baik saja setelah menelan racun itu.

"Dan untungnya pasien lebih cepat dibawa kemari. Jika terlambat sedikit saja ... pasien bisa saja tewas," lanjutnya.

"Apa saya boleh masuk, Dok?" Dokter itu mengangguk. Lalu berpamitan untuk pergi. Pak Akhmad pun masuk untuk melihat keadaan Sahira.

Tubuh Sahira terbaring lemah, dengan jarum infus yang terpasang di tangannya juga bantuan alat pernapasan. Air mata Pak Akhmad mengalir begitu saja, melihat keadaan putrinnya.

Ia lalu duduk di kursi, yang ada di sebelah ranjang. Sambil memegangi tangan Sahira, dengan linangan air mata.

"Mas, yang sabar, ya!" ucap Bu Fatimah menguatkan. Pak Akhmad hanya mengangguk sambil terus menciumi tangan putrinya.

Kenapa harus putrinya mengalami hal ini. Kenapa harus putrinya menjadi korban. Sungguh jika memang ada tangan seseorang dibalik kejadian ini pria paruh baya itu tak akan mengampuninya.

Bagaiman jadinya jika mereka terlambat membawa Sahira ke rumah sakit. Lelaki itu akan menjadi orang berduka pertama untuk kepergian harta satu-satunya.

Sudah cukup dengan kepergian istrinya, ia menderita. Ia tak ingin jika sampai putrinya hilang nyawa. Hatinya benar-benar murka. Jikalau benar semua ada campur tangan manusia ia tak akan mengampuninya. Sungguh!

Perlahan tangan Sahira mulai bergerak, matanya pun mulai terbuka. Mereka yang melihatnya, langsung menyungging senyum, sambil menyeka air matanya. Sahira juga tersenyum melihat orang-orang disekelilingnya setia menungguinya.

"Kamu ndak papa toh, Nduk?" tanya Pak Akhmad. Sahira mengangguk pelan diseryai senyum, karena tubuhnya terasa lemas. Pak Akhmad mendaratkan kecupan singkat di kening sang putri membuat senyum Sahira semakin mereka.

Pria paruh baya itu beranjak. Mengajak Bu Fatimah keluar untuk berbicara sebentar. Meninggalkan Sarah yang kini berganti duduk menemani Sahira.

"Bagaiman ini bisa terjadi, Bu?" tanya pak Akhmad menghela napas kasar. "Saya sudah sangat percaya dengan pesantren Anda. Namun, kenapa hal ini terjadi pada putri saya?"

"Sebelumnya saya benar-benar minta maaf. Atas semua yang terjadi pada Sabira. Saya sendiri tidak tahu kronologisnya bagaimana, Mas. Kalau Njenengan pengen tau lebih jelas, biar saya panggilkan temanya Rara." Pak Akhmad mengangguk.

Bu Fatimah mekangakn masuk kembali ke ruangan. Memanggil satu-satunya saksi mata, yang melihat jelas kejadiannya. Vivin. Gadis itu juga tampak kaget saat tiba-tiba Bu Fatimah memanggilnya, mmebuatany menyimpan rasa takut tersendiri.

Pak Akhmad tampak sedang duduk di kursi tunggu sambil memijat pangkal hidungnya.

"Vin! Coba kamu jelaskan sama pak Akhmad, tendang kejadian tadi. Bagaimana Rara bisa pingsan!"

Dengan sedikit keraguan gadis bertubuh bongsor itu menjelaskan bagaimana hal itu terjadi. mulai dari seorang gadis yang memberinya sebotol air. Sampai akhirnya Sahira tergeletak lemas. Pak Akhmad mendengarnya dengan seksama, sambil sesekali menganguk.

"Lalu, apa motif gadis itu memberi Sahira minuman berisi racun?" tanyanya lagi.

"Nanti coba saya tanya kan, pada gadis yang dimaksud." Kata Bu Fatimah.

[REVISI] Cinta Di Atas Sajadah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang