27. "Get lost, moron."

1.3K 124 6
                                    

Birmingham, Europe
December 27, 20XX
Years after moonlight

Bright seperti mati.

Musim demi musim yang berganti di lewati Bright dengan hampa. Kelulusan, pekerjaan, pertemanannya, semua berjalan sebagaimana mestinya. Walau hampir menyerah di beberapa titik, Bright tahu itu bukan hal yang Win inginkan.

Ah, Win Metawin.

Umur Bright menginjak dua puluh empat tahun hari ini. Artinya, sudah empat tahun pria itu menghilang dari hidupnya. Tidak satupun yang tahu dimana Win berada.

Tidak Bright. Tidak Luke. Tidak Love. Apalagi, Pluem dan Dylan. Off dan Tay selalu sibuk mengalihkan perhatian Bright dari pria itu, walau saat malam datang, isi kepalanya kembali di penuhi Win Metawin.

Kekosongan itu Bright tumpahkan dalam kanvasnya. Menghabiskan berminggu bahkan berbulan-bulan melukis dengan warna-warna gelapnya. Bright menenggelamkan dirinya.

Seperti sebuah penghargaan, kesempatan emas itu menghibur Bright. Lukisan kelamnya dibeli oleh pengusaha besar New York. Terpajang jelas di dinding salah satu gedung pencakar langit Times Square.

Tetap saja, bukan uang yang Bright inginkan. Malam sepinya semakin kelam. Bright sesekali menemukan dirinya terkapar tidak berdaya di tengah studionya. Ini alasan Off tidak membiarkan barang tajam tersimpan disana.

Terakhir kali Bright menyimpan vas bunga, barang pecah belah itu terhempas mengenaskan karena amukan Bright. Off dan Tay yang melihat sahabatnya kacau hanya bisa menenangkan.

Mereka tidak tahu dimana Win.

"Rumah Win kosong," aku Bright di telepon saat kembali ke Bangkok. Tidak ada tanda kehidupan di rumah Win.

Frustasi.

Bright sangat frustasi.

Malam ini sama seperti malam kelam lainnya. Jam dinding menunjukan pukul satu pagi. Bright mendengus ketika tidak sengaja mematahkan kuas cat terakhirnya.

Membersihkan tangannya, Bright meraih mantel dan beberapa lembar dolarnya. Ia akan pergi membeli yang baru di tempat langganannya.

Mata sayu Bright terpejam beberapa detik saat angin malam Eropa membuat perih matanya. Kepala Bright berdenyut, ia sudah tidak tidur selama dua hari ini. Alasannya sederhana, Bright enggan melihat Win dalam mimpinya.

"Hai, Nak. Masih sibuk melukis?"

Bright tersenyum lemah sembari mengangguk.

"Kau tidak terlihat sehat, Bright."

"Aku tidak apa, Sir."

Bright meletakan kuas cat yang dibutuhkannya. Mengeluarkan beberapa lembar dolarnya lalu meraih pemantik milik pria tua di depannya.

"Jaga dirimu, kid."

Mengucapkan terima kasih, Bright melangkah keluar menyimpan kuas ke dalam saku mantelnya. Jalanan Birmingham yang hening menenangkan Bright.

Pandangannya berkabut karena asap yang keluar dari mulutnya. Entah sejak kapan kebiasaan buruk ini mulai Bright tekuni. Bright selalu membawa bungkus rokok di sakunya.

Setiap merindukan Win, Bright akan meraih satu batang dan membakarnya seakan mengusir Win dari kepalanya.

"Menyebalkan," dengus Bright ketika hendak menyebrang. Tidak memedulikan lampu pejalan kaki yang berwarna merah.

Cahaya terang yang menyilaukan menusuk pandangan Bright. Suara deru mesin yang mendekat membuat Bright menoleh. Bright menghentikan langkahnya, menunggu mobil sedan hitam itu menghempas tubuhnya.

Through & Through [REVISION]Where stories live. Discover now