PART -02

123 16 0
                                    

02: Terpecah-belah

Biru baru saja menampakan kakinya di lantai teras dan yang membuat ia membeku ialah, ia melihat ayahnya menampar pipi bundanya dengan tidak berperikemanusiaan. Dengan seketika air matanya menetes dan ia berlari untuk memeluk Bundanya.

Ia melihat sendu ayahnya yang terlihat menahan emosi, "Ayah kenapa nampar Bunda?" Lirihnya.

Ayah hanya menatap datar anaknya yang sedang memeluk Bundanya. Tidak lama, ia melangkahkan kakinya keluar dari rumah ini dan melesat entah kemana. Menghilang lalu kembali lagi, seperti itulah Ayahnya. Kembali membawa luka baru.

Ia memeluk erat Bundanya yang sedang menangis isak dipelukan dirinya, "Bunda jangan nangis lagi donk. Biru jadi ikutan nangis nih."

Bunda mendorong pelan bahu anaknya dan menghapus air mata anaknya, "Sayang, kamu harus janji sama Bunda. Kalau Bunda pergi, jangan cari Bunda ya."

Ia langsung menggelang cepat, "ngga, ngga. Bunda ngga boleh pergi dari sini. Nanti kalau Bunda pergi, Biru sama siapa disini. Dihidup Biru hanya punya Bunda." Tangisnya kembali pecah.

"Ssstt... anak Bunda ngga boleh cengeng kaya gini. Kan masih ada Ayah yang temenin Biru disini."

Ia menatap sendu kearah Bunda, "ngga Bunda, Biru ngga mau tinggal sama Ayah. Biru ngga mau." Tegasnya langsung menunduk dalam sambil menghapus air matanya.

Bunda mengusap sayang puncak kepala anaknya, "udah, udah. Kamu ganti baju gih sana."

Ia mengangguk pelan dan perlahan melangkah gontai menuju kamarnya.

Maafin Bunda sayang, Bunda ngga bisa jaga kamu lebih lama lagi -Bunda menatap sendu sang anak.

Biru kini sedang berada dikamarnya, setelah membasuh mukanya dan sikat gigi saja.

Ia mendudukan dirinya di balkon kamarnya sambil memandangi senja yang menurutnya indah. Walaupun hanya sesaat.

Ia bingung harus berbuat apa sekarang. Sudah sering kejadian seperti ini terjadi dirumah terkutuk ini. Ia tidak menyangka sang Ayah menampar Bunda sebegitu kuatnya. Ada masalah apa sebenarnya? Kenapa semua jadi serumit ini?

Ia berfikir kembali, mengulang semua kejadian yang telah ia lewati sampai semua seperti ini. Percuma, Ia tidak dapat menyimpulkan apa yang terjadi dengan keluarganya. Ia pun malas untuk mengetahui semuanya. Takut untuk membuka goresan di hatinya menjadi semakin besar.

Selama ini, ia memendam semua keluh kesahnya sendiri. Jauh dilubuk hati yang terdalamnya ia sangat butuh sandaran dan teman curhat. Namun, semuanya bahkan benci pada dirinya. Karena sok ini lah, itulah, merasa tidak perlu memiliki teman lah, apalah. BIG NO! Jika saja mereka memasuki kehidupan terdalamnya mungkin mereka tidak akan percaya.

Sebulir air mata mengalir mulus dipipinya. Mungkin ini saatnya untuk ia menangis kembali. Tumpahkan semuanya dengan air mata. Dengan ini mungkin bisa meringankan setidaknya sedikit saja dari beban hidupnya.

Sudah malam, terlihat dari munculnya bulan dan tenggelamnya matahari. Ia berniat untuk keluar dari rumah hanya sekedar mencari angin. Ia yakini pasti kini Bundanya pun tidak berada dirumah. Semuanya sama saja. Sok sibuk.

Ia mengambil jaket dan berjalan keluar rumah dengan badannya yang masih berbalut seragam sekolahnya. Memang seperti inilah dirinya, malas mengganti seragam.

BIRU (Hiatus)Where stories live. Discover now