[05] Pelan-Pelan Rumi Jatuh Cinta

1.6K 250 47
                                    

Lama nggak muncul? Projek Ramadhan belum selesai sampe lebaran kurban. Bener-bener minta tampol ya si Ma’un.

Happy reading dan siap-siap nunggu updaten looh.

🌹🌹🌹

Baju koko putih dan kain sarung tenun. Peci cokelat tua ada bordiran nama Rasul di sebelah kanan. Sajadah tergantung di pundak kiri. Perlahan kaki pria tinggi itu terayun semakin dekat ke rumah Siti. Sebelah tangan terangkat rupanya hendak melihat arloji. Tangan kanannya menenteng sebuah plastik putih susu. Selangkah demi selangkah akhirnya Musa tiba di depan rumah.

Semua itu membuat jantung gadis yang mengintip dari jendela bergelenyar. Terdengar suara bariton bertanya pelan di mana dia kepada Siti.

”Di dalam, Bang,” jawab Siti. ”Sudah mau Magrib nih. Kenapa tidak malam saja sekalian?”

Ih, Siti kepo. Namun, di dalam kamar Rumi juga mengangguk.

”Nanti tidak enak lagi.” Laki-laki yang kulitnya putih itu menjawab dengan suara datar dan rendah.

Anehnya kaki Rumi jadi tremor mendengarnya. Dia membikin kesimpulan sendiri bahwa Musa tak ingin Rumi memakan bawaan Musa yang sudah dingin.

”Oh betul! Abang Musa di masjid sampai pulang Isya,” seru Siti.

Rumi menyibak kain gorden dengan sangat hati-hati. Pekerjaan mengintip bukan kebiasaan Rumi. Apalagi jarak teras dengan tempat Rumi cukup dekat. Gadis Bundo sangat takut ketahuan. Lagian kalau dipikir-pikir, ngapain sih Rumi pake ngintip segala? Kenapa tidak ikut ke depan menemui Musa?

”Fir’aun sekarang kenapa tampan sekali?” batin Rumi berteriak sambil mengigit bibir.

”Bikin dosa aja magrib begini,” tegur suara hatinya yang berotak malaikat.

Tiba-tiba mata setajam elang milik bujangnya Etek Fatimah itu melintas ke arah Rumi. Rumi meringis waktu berbalik badan menyudahi kegiatan pengintaian karena nyaris ketahuan. Benar kata si malaikat dalam kepala Rumi. Musa itu lawan tanding yang tidak boleh dipandangi.

”Bagaimana kakinya Rumi?”

Rumi yang bersandar pada kusen jendela memegang dadanya. Jantungnya mengerang tidak keruan ditanyakan kabar.  ”Jangan girang! Jangan macam-macam,” katanya memantrai.

”Bengkaknya sudah agak hilang. Cuma itu ... Kak Rumi katanya bosan di rumah—”

Tunggu! Rumi pernah ngomong begitu? Kapan?

”—beta ajak ke Pantai Losari saja, tapi Kak Rumi trauma naik motor. Mau naik oto, kalo keluar harus diperban. Perbannya habis.”

”Nanti malam aku beli perban. Ada lagi yang Rumi perlukan?” Musa sepertinya hendak pergi karena suara azan mulai dikumandangkan.

”Ada ... sekarang Abang Musa pergi ke masjid dulu. Beta kasih makanan ini untuk Kak Rumi. Terima kasih, ya.”

Rumi keluar kamar bersamaan dengan ibunya Siti yang dia panggil bibi. Langkah ibu Siti cepat, melewati Rumi dan Siti yang juga sudah masuk.

”Ma, sarung mukena Mama mana?” tegur Siti.

Rumi melihat ke kaki Bibi Laih. Wanita asli Maluku itu hanya memakai celana kulot gambar bunga yang sangat ramai.

”Ah, iya sampai lupa!” Bibi Laih kembali masuk kamar.

”Mau buru-buru sekali si Mama. Masjidnya saja di sebelah rumah,” kata Siti pada Rumi.

Bismillah Move On (di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang