Dua; Batas Untuk Kita

Comincia dall'inizio
                                    

Bersamaan dengan itu, dering familiar dari dalam tas Sonya terdengar. Wanita itu sudah terlalu hafal darimana suara itu berasal. Tidak pernah ada hari kosong tanpa nyaring dari ponsel yang sejauh ini hanya Sonya simpan, tanpa pernah ia gunakan. Dan setiap kali suara itu datang, gaduh di dada Sonya juga ikut membrutal.

Sejenak wanita itu terdiam, sebelum akhirnya membuka tasnya di meja dan meraih smartphone keluaran lama dari dalam sana.

Ma, kata Papa Brata, dia terima aku di sini karena aku anak Mama. Katanya, aku bisa ada di sini karena Mama. Tapi yang aku tahu, Mama selalu bilang sebaliknya. Mama bilang aku bukan anak Mama. Jadi sekarang aku bingung ... sebenarnya aku di sini karena siapa? Sebenernya aku ini apa?

Detik itu Sonya membeku di hadapan layar yang masih menyala. Nomor itu tidak bernama, karena Sonya memang tidak pernah menyimpannya. Tapi ia tahu betul pesan itu datang dari siapa. Karena sampai hari ini hanya satu orang yang masih rutin mengirimkan pesan ke sana. Setelah tiga tahun lalu manajemen mengumumkan secara resmi bahwa nomor khusus penggemar telah diubah, dan semua orang pun telah beralih ke yang baru.

Kecuali satu orang itu. Fajar. Yang masih terus datang dengan keluhnya ke nomor lama Sonya. Nomor yang semua orang pikir sudah tiada bersama ponsel yang menghilang saat Sonya meninggalkannya di lokasi syuting di luar kota.

Iya, seharusnya memang begitu. Tapi tidak ada yang tahu, bahwa hari itu, diam-diam Sonya kembali ke lokasi untuk mencari ponselnya. Lalu memutuskan untuk tetap menyimpannya tanpa sepengetahuan siapa-siapa, sampai sekarang.

Dan anehnya, wanita itu tidak pernah berhenti membaca pesan dari Fajar. Bahkan ketika ada ribuan pesan penuh cinta dari penggemar yang terus berdatangan di nomor baru, yang semuanya mengharapkan balasan. Namun, semudah itu pula semua pesan yang datang hanya berakhir Sonya abaikan.

"Aku sudah pesan dress-nya. Sekarang lagi disiapin dan akan langsung dikirim ke sini satu jam dari sekarang. Sambil nunggu, kamu lebih baik istirahat. Aku tau kamu capek banget seharian ini."

Suara tegas Pras kembali menggema dari tengah ruangan, tapi Sonya masih diam. Mata wanita itu masih terpaku pada layar ponsel yang telah sempurna menghitam, sampai panggilan kedua dari Pras berhasil menyentaknya.

"Sonya! Kamu dengerin aku ngomong nggak?"

Seketika wanita itu menyimpan ponselnya ke dalam tas dan menatap Pras yang berdiri di tengah ruang.

"Aku mandi dulu," katanya, kemudian bangkit dan dengan langkah lebar menghilang di balik pintu kamar mandi yang menutup perlahan.

Suara Pras masih terdengar samar-samar, menyuruhnya untuk segera istirahat setelah selesai. Tapi Sonya tidak peduli. Di balik pintu kamar mandi, wanita itu diam, dengan tangan terkepal dan mata yang pelan-pelan menajam. Sekali lagi ia menekankan pada hatinya bahwa anak itu adalah kesalahan. Bahwa tidak pernah ada sesal atas keputusannya untuk meninggalkannya sendirian.

✍️✍️

Pagi di hadapan meja makan itu tidak pernah sama seperti yang diharapkan. Tidak ada hangat obrolan, yang tersisa di sana hanya dingin di antara nyaring denting piring serta deru napas bersahutan.

Fajar masih tahu diri. Di rumah ini, suaranya tidak akan pernah terdengar. Ditambah lagi peringatan dari Brata semalam. Kalimat lelaki itu seolah menegaskan bahwa satu-satunya yang boleh Fajar lakukan di sini hanya diam. Bahwa selamanya ia tidak pernah punya hak dan untuk itu ia harus menjaga sikap. Jangan bicara, jangan mengeluh, jangan menuntut. Bahkan jika rasanya menyakitkan, ia hanya harus diam.

Karena ia bukan siapa-siapa dan seharusnya ia sadar bahwa tidak akan pernah ada tempat untuk seorang anak yang tak diharapkan.

"Pa, aku berangkat."

Memeluk Fajar [Terbit]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora