Satu; Aku Ini Siapa?

10.5K 1.2K 808
                                    

Sampai hari ini, Fajar tidak pernah menuntut lebih untuk hidupnya. Ia sudah cukup bersyukur dengan apa yang sekarang ia punya. Diizinkan tinggal di rumah yang sama dengan kedua kakaknya dan berbagi atap serupa dengan ayah tirinya tanpa perlu membayar apa-apa, sudah lebih dari cukup untuk seorang anak hasil perbuatan terlarang seperti dirinya. Setidaknya ia masih cukup tahu diri untuk tidak mengharap lebih dari semua yang selama ini ia terima.

Fajar hanya perlu diam, seolah semesta telah menempatkan segalanya dengan adil dan benar. Tidak melawan ketika salah satu kakaknya membentak dengan suara kasar, atau ketika Brata memalingkan muka setiap kali berpapasan. Ia juga tidak boleh menuntut, ketika Ibunya tidak pulang dan lebih memilih untuk tinggal di apartemen yang ia sewa di bawah nama perusahaan. Bahkan jika selamanya ia tidak mendapat pengakuan, yang boleh Fajar lakukan hanya diam.

Di rumah ini, satu-satunya hak yang ia miliki hanya untuk mendengar, bukan menyampaikan. Ia hanya perlu berterima kasih karena mereka telah memberinya kehidupan dan jangan pernah mencoba untuk menjadi kurang ajar. Itu yang sejak awal selalu Ibunya tekankan.

Namun, tidak bisa dipungkiri, setiap kali melihat wajah Ibunya meski hanya di layar kaca, Fajar tidak bisa diam saja. Ia mungkin akan ikut tertawa ketika script acara membuat wanita itu tertawa. Ia akan ikut bertepuk tangan ketika nama Ibunya keluar sebagi penerima perhargaan, mengalahkan para kompetitornya. Ia bahkan akan ikut merasa sedih setiap kali tim kreatif di stasiun televisi menyiapkan cerita sedemikian rupa hingga wanita itu meneteskan air mata.

Seperti tadi, saat ia melihat wanita itu tersenyum lebar sekali, sembari memperkenalkan anak-anaknya di hadapan media. Mengatakan berkali-kali bahwa ia bahagia. Fajar samasekali tidak keberatan. Baginya, yang paling penting adalah melihat Ibunya bahagia. Tidak peduli bahkan jika bahagia wanita itu ternyata menyakitinya. Tidak apa-apa. Selama wanita itu menikmati hidupnya, Fajar juga akan selalu baik-baik saja.

Cowok itu tiba di rumah dengan pakaian yang sedikit basah karena ternyata hujan tidak sejalan dengan harapnya. Ia sudah menunggu selama hampir dua jam di warung makan dan hujan belum juga reda. Maka cowok itu akhirnya nekat menerobos sejuk rinai yang ternyata masih cukup membuat ia kedinginan. Tapi semua keluhnya hilang saat ia memijak luas halaman dan menyaksikan kedua kakaknya baru saja pulang.

Dengan cepat ia berlari, tidak sabar ingin mendengar cerita tentang acara yang baru saja mereka hadiri.

"Kakak!" pekik Fajar, tepat satu meter sebelum mencapai teras rumahnya.

Detik itu mereka menoleh, hingga Fajar bisa melihat gurat lelah di wajah kedua kakaknya. Padahal mereka baru saja bertemu Mama. Apa mereka tidak bahagia?

Fajar baru akan bertanya, saat suara Clara lebih dulu menyela. Membentak dengan kalimatnya yang tidak pernah terdengar teduh di telinga, seperti biasa.

"Apa? Lo nggak liat kita baru pulang? Ngeliat muka lo tuh bikin gue makin capek tau nggak?!"

"Maaf, Kak. Aku cuma nggak sabar aja pengen denger cerita kalian tentang acara Mama. Pasti seru, ya? Aku lihat lho tadi di tv. Mama anggun banget. Aslinya pasti lebih cantik, ya 'kan?" Fajar berujar masih dengan senyuman dan kedua mata yang berbinar. Ia bahkan tidak peduli pada sisa air hujan yang membuatnya kedinginan, pun basah yang mengalir dari ujung-ujung rambutnya ke lantai.

Tapi seharusnya ia tidak lupa bahwa di antara mereka semua, kakak sulungnya itu menjadi yang paling lebar membentangkan jaraknya untuk Fajar. Bagi Clara, apa pun yang Fajar lakukan tidak akan pernah dianggap benar. Karena selamanya nama Fajar akan tetap digariskan sebagai sebuah kesalahan.

Maka gadis yang tahun ini menginjak usia 22 tahun itu mendecih dan kemudian tertawa sumbang.

"Lo itu bener-bener nggak tau diri, ya. Mama nggak ngundang lo, karena dia emang nggak pernah anggap lo sebagai anaknya. Kenapa lo masih aja kepo banget sama semua yang Mama lakuin di luar sana?" Kemudian Clara maju dengan telunjuk yang ia angkat di udara dan mendorong kening Fajar hingga cowok itu terhuyung ke belakang.

Memeluk Fajar [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang