Part 20 - The Past and The Kiss

Start from the beginning
                                    

"Sekitar 8 tahun lalu, sewaktu saya masih berusia 30 tahun, saya menjalin hubungan dengan mantan saya. Lisa namanya. Kami sudah menjalin hubungan sekitar satu setengah tahun dan akan melangkah ke tahap yang lebih serius lagi. Lisa sudah mengenal orang tua dan adik-adik saya dengan baik. Kami hanya perlu menyebutkan tanggal pernikahan, lalu semanya beres. Kami akan menikah. Namun beberapa bulan terakhir waktu itu, kami seperti kehilangan sparks dalam hubungan kami. Selalu marah-marah karena masalah sepele, trust issues, dan hal-hal lainnya yang seharusnya tidak perlu menjadi inti dari sebuah masalah. Tapi tetap dijadikan inti dari masalah." Pak Harry berhenti sejenak karena merasa seperti kehabisan napas.

"Pelan-pelan, Pak."

Pak Harry tersenyum lalu melanjutkan ceritanya. "Saya sedang berada di rumah saya di Bandung, sewaktu kami bertengkar untuk yang terakhir kalinya. Karena saya merasa kepala saya sudah panas, saya menelpon Herman adik saya untuk mengantar Lisa kembali ke Jakarta. Malam itu, Lisa kembali ke Jakarta dengan Herman menggunakan mobilnya.

Beberapa hari kemudian, Lisa memberi tahu berita itu. Awalnya saya sangat marah dan hendak memarahi Lisa. Namun saya berpikir, untuk apa? Yang sudah terjadi ya sudah terjadi."

Anna bertanya pelan-pelan. "Berita apa, Pak?"

"Dia hamil dan Herman adalah ayah dari bayi itu."

Anna menganga mendengar pernyataan dari Pak Harry. Tidak disangka bahwa mantannya dahulu telah hamil dengan adik dari Pak Harry.

"Selanjutnya mereka menikah. Tentu saja saya telah memaafkan mereka. Saya juga salah disini. Saya terlalu egois dan dingin dalam menjalin suatu hubungan. Sementara Lisa...Lisa membutuhkan kehangatan yang pastinya tidak akan didapatkan dari saya. Tapi dari Herman. Dia bilang bahwa beberapa bulan terakhir dalam hubungan kami, Herman selalu ada dan memberi kehangatan ke dia. Entah secara harfiah atau kiasan. Saya tidak menanyakan lebih jauh."

Tangan Anna tanpa sadar mengelus punggung Pak Harry. Jarak antara keduanya juga sudah semakin dekat, tanpa adanya penghalang.

"Pak, saya tidak tahu."

Pak Harry terkekeh. "We're good now. Itu masa lalu, An. Saya juga sering video call sama mereka dan anak-anaknya, Leo dan Lunar, kok. Mereka lucu. Saya dan Herman juga sudah biasa saja. Kan jodoh tidak ada yang tahu, benar?"

"Itu yang membuat Bapak masih single hingga kini? Gak pernah pacaran sekalipun setelah kejadian itu? Masa sih? Gak percaya!" Anna langsung menutup mulutnya karena dirasa lagi-lagi dia asal nyerocos.

Pak Harry memandang Anna lalu tertawa bahagia.

"Ya ampun. Kamu masih tetap Anna meski saya sudah jujur ya?"

Anna meringis.

"Tidak apa-apa. Saya suka kamu yang begini, An."

Anna kembali menunduk. Dagunya kemudian dipegang dan dinaikan oleh jari tangan kanan Pak Harry dan membuatnya kembali menatap Pak Harry.

"Setelahnya saya memang menjalin beberapa kali hubungan. Bisa dihitung dengan jari, kira-kira tiga. Namun ketiganya belum saya rasa cocok dengan saya. Jadi lebih baik, kami berteman."

"Emm... yang kemarin salah satunya Pak?"

"Hahaha. Anna oh Anna. Saya sudah bilang, kemarin kami berdua masih berada pada tahap denial dan anger. Dia sedang kecewa dengan kekasihnya sementara saya sedang bingung terhadap perasaan saya ke kamu."

"Eh?" rona merah menghiasi kedua pipi Anna.

"Saya terus-terusan mengelak kalau saya suka sama kamu, An. Apa yang kamu lakukan hingga akhirnya membuat saya luluh?"

"Eh...."

"An?"

Anna menatap mata Pak Harry. "Ya?"

"Apa kamu marah saat melihat saya mencium orang lain kemarin?"

"Iya." Anna berkata cepat tanpa sadar.

"Baguslah."

"Eh?"

"Itu artinya, kamu cemburu. Artinya kamu juga menyukai saya. This feeling is mutual." Pak Harry menggenggam tangan Anna kemudian mengecupnya dengan lembut.

Anna menganga. "Mimpi apa gue semalem?"

Anna masih merasa bahwa semua ini mimpi. Tidak mungkin seorang yang nyaris sempurna dihadapannya ini mencium tangannya. Dengan lembut. Di kamar apartemennya sendiri. Setelah Anna mengantarkan makan sore hangat.

"Pak..."

Pak Harry terus mencium lembut kedua tangan Anna. "Hm?"

"Ba...bagaimana kalau sekolah tahu?"

Pak Harry menyudahi ciuman di tangannya kemudian menatap Anna dengan tatapan paling lembut yang pernah dilihat Anna. "Jangan sampai tahu."

"Ya sih. Tapi umur kita..."

"Anna, apakah kamu suka saya?"

Anna mengangguk tanpa ragu.

"Tapi umur kita?" Pak Harry menatap menggoda.

Anna memukul pelan lengan Pak Harry yang membuatnya mengaduh kecil tapi tidak diindahkan oleh Anna. "Ih! Kan saya nanya duluan gimana sih! Kenapa Bapak suka saya?"

"You are young and vulnerable. Just what I needed. I feel responsible to be here with you through tick and thin. Kamu ramai sementara saya tenang. Kamu merah sementara saya biru. Kamu air hujan dan saya tanamannya."

Anna menatap Pak Harry sambil melongo. "Apaan sih saya gak ngerti!"

"You will. Someday."

"Haaaah."

"Saya tidak peduli dengan umur, An. Jika saya merasa cocok, saya akan perjuangkan hingga kapanpun. Tapi tidak melanggar hukum negara tentu saja." Pak Harry terkekeh atas perkataannya sendiri.

"Iya tapi melanggar hukum sekolah. Gimana sih!"

"Ya sudah. Saya besok keluar dari sekolah kamu."

Anna menahan lengan Pak Harry. "Eh, jangan dong Pak. Desi dan Dipo kayaknya udah suka banget sama cara ajar Bapak."

"Saya bercanda. Tidak mungkin saya tiba-tiba keluar dari sekolah kamu. Gimana sih?" ledek Pak Harry sambil menyentuh ujung hidung Anna dengan telunjuknya.

"Jadi?"

"Jadi?"

"Sekarang apa, Pak?"

Pak Harry berdiri lalu menarik Anna ke dalam pelukannya. Anna tidak menolak. Dibiarkan tubuhnya dipeluk oleh gurunya kali ini. Anna juga balas memeluk Pak Harry. Sangat lama. Kemudian setelah pelukan mereka terlepas, Pak Harry meraih dagu Anna dan melihat matanya dalam-dalam.

"Anna, would you be mine?"

"You don't have to ask."

Kemudian setelah Anna mengucapkan itu, dia merasakan bibirnya ditimpa oleh bibir lawan bicaranya yang sudah mencuri hatinya dari beberapa hari terakhir ini.

***

Anna & HarryWhere stories live. Discover now