「malentendu」

835 204 273
                                    

Ada adegan kekerasan dan kata-kata kasar, tidak untuk ditiru

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ada adegan kekerasan dan kata-kata kasar, tidak untuk ditiru.

Selamat membaca❣︎






Ditengah kekalutan yang mendera, Jia inkonsisten dengan keputusannya. Sebab nyatanya ia yang bilang tidak ingin pulang, dengan berat hati kembali melangkahkan kakinya yang terasa berat.

Bahunya turun, samar-samar muncul keringat pada pelipisnya. Biarpun terkena sapuan angin malam, tetapi tubuhnya tetap berkeringat. Langkahnya yang begitu lambat dan sesekali ia berhenti mendongakkan kepala, mengantisipasi luruhnya air mata.

Hingga ia sudah tiba di depan gerbang rumah, dipandanginya bangunan megah tersebut dengan nanar. Ada sekelebat kehampaan yang ia rasa, rumah itu nampak kokoh namun tetap akan rapuh jika untuk berlindung disana.

Kembali memacu langkah hingga sampai pada pintu utama, ia buka dan mendapati Gaffin yang menatapnya dengan sorot penuh kekhawatiran. Jia memberikan gelengan saat Gaffin hendak menyapa.

Sedikit ada keberuntungan sebab Gaffin memilih diam dan menurut. Pemuda itu membiarkan sang kakak melewatinya hingga sudah pada anak tangga paling atas. Jia berbalik badan, melihat Gaffin yang juga tengah menatapnya. Memilih abai, Jia kembali berjalan ke arah kamarnya.

Betapa terkejutnya Jia, saat pertama kali ia buka pintu kamar, yang ia jumpai adalah Shalletta yang duduk diatas kasurnya seraya menyilangkan kaki, tatapan Shaletta menajam, penuh percikan murka.

Bibir Jia terkatup rapat saat Shaletta meletakkan kotak kecil yang berisikan cutter-cutter nya beserta dua botol kecil khusus obat.

“Sampe kapan?”

Adalah sapaan yang menggugah atensi Jia, ia menolehkan kepalanya ke belakang memastikan tidak ada orang lain diluar kamar. Ia mulai memasuki kamar dan mengunci pintu rapat-rapat.

Tenggorokan Jia terasa kering, ia pun berdehem, “bukan urusan lo.”

“Ji, kita coba ke psikiater atau psikolog ya?”

Lirikan sinis Shaletta terima, tatapannya menajam menghunus tepat pada netra kelam Shaletta, “gue gak gila, Shaletta.”

Persisten mengukuhkan niatnya untuk kesembuhan Jia, mengedepankan kebebalannya dan keras kepala agar Jia mau mengikuti kehendaknya.

“Lo emang gak gila, Jia. Tapi saat ini lo butuh!”

“Gue bilang berhenti ikut campur urusan gue!” telunjuk Jia sudah didepan wajah Shaletta.

Can I? - Mark Lee✓Where stories live. Discover now