30# Kini, Selamat Jalan! [Final]

574K 52.5K 17.6K
                                    

Sesaat itu hatiku menghilang
Mengenang tawamu yang tidur terlelap
Sedih terasa, rindu terbawa selamanya

Kini kau tersenyum di atas sana
Memandang semua tetesan airmata
Hingga saatnya kita kembali berjumpa
Ditempat yang indah

- COLAFLOAT -

○○○●●● 》♤♤♤《 ●●●○○○

Dia hidup di sini lebih dari 22 tahun. Tumbuh dan belajar banyak hal, membuat dan menyimpan kenangan, menangis dan tertawa, sedih dan bahagia. Rumah ini terlalu menyimpan banyak cerita. Bagaimana Bang Tama dilahirkan dan dibesarkan, perihal Kak Ros yang susah payah menjadi dewasa, tentang Jovan yang tertatih mencari jati diri, jatuh bangun Sastra ketika memulai segala mimpi, Nana dan segala cerita yang tak pernah tersuara, keputusan antara Cetta dan Jaya untuk saling menjaga. Di rumah ini, Sastra tidak pernah merasa sepi. Dia punya segalanya yang belum tentu orang lain punya. Dia belajar banyak hal yang mungkin tidak dipelajari orang lain.

Mendoan dan secangkir kopi di teras. Kandang Rocky dan tangis rindu setiap jam 1 pagi. Rinso, Molto dan Soleh yang selalu sarapan lebih dulu ketimbang yang lainnya. Kancut bergambar belalai gajah milik Jaya yang masih berkibar di tali jemuran hingga detik ini. Lagu-lagu sendu, juga lagu-lagu indah nan merdu. Aroma indomie kuah yang candu. Kripik alot buatan Mama yang selalu jadi nomor satu. Terhindar dari hujan dan panas adalah definisi rumah yang biasa. Lebih dari itu, bagi Sastra rumah ini adalah segalanya.

Seandainya Sastra tahu dia akan segera mati. Dia ingin menulis satu wasiat untuk Mama dan saudara-saudaranya: Abang minta tolong, jangan jual rumah ini. Bukan karena akta tanahnya bukan milik Abang. Tapi beratus-ratus juta sekali pun atau miliyaran rupiah sekali pun, harganya tidak akan pernah sebanding dengan cerita milik kita. Abang memang tidak punya harta untuk kalian jaga. Tapi cerita bagaimana kita dilahirkan dan tumbuh bersama-sama di rumah ini, lebih berharga dari segalanya.

"Aku nggak pernah sekali pun kepikiran buat ninggalin rumah ini."

Sore itu, Sastra memutuskan untuk duduk di depan rumah. Di atas dipan bersama ketiga kucing milik Jovan. Setengah lima, angin berhembus sejuk. Menerpa ranting-ranting pohon mangga yang berdiri kokoh di atasnya. Selain dipan ini, mungkin pohon mangga itu telah menjadi saksi bisu tentang segala hal yang terjadi di rumah ini.

Rinso mengeong lirih. Barangkali dia berkata, "terus kenapa Abang ninggalin rumah sekarang? Harusnya Abang tinggal lebih lama." Yang mungkin tidak akan pernah Sastra pahami apa makna sebenarnya. Karena jujur saja, di rumah ini, hanya Jovan yang bisa dengan fasih berkomunikasi dengan kucing.

"Udah 22 tahun lebih ternyata. Mulai dari cat temboknya yang warna biru, coklat, hijau, merah muda, kuning- argh! Kuning! Kalian nggak tahu kan? Dulu rumah ini pernah dicat warna kuning." laki-laki itu geleng-geleng kepala. "Aku masih nggak paham, kenapa Kak Ros terobsesi banget sama warna kuning."

Lalu dia berdiam diri cukup lama. Ada banyak sekali adegan lucu dan sedih yang berputar-putar dalam kepala. Seperti mengajaknya untuk menilas kembali kenangan-kenangan di masa itu. Alih-alih sendu, Sastra justru tersenyum. Di balik fakta bahwa dia harus meninggalkan rumah ini, tersimpan sebuah kedamaian. Mungkin waktu bisa dengan mudah mengaburkan semua moment-moment itu. Segalanya bergerak begitu cepat tanpa disadari. Tapi yang terkenang, biasanya bertahan lebih lama dari yang seharusnya.

"Kalian juga nggak tahu kan? Dulu Jaya sama Cetta pernah berantem. Terus Jaya nggak sengaja jepit tangan Cetta di pintu sampai kukunya copot. Tapi yang disalahin sama Mama malah aku. Soalnya aku ada di sana, bengong doang." kemudian dia tertawa. Tapi seumpama kejadian itu terulang lagi, dia akan tetap diam di sana tanpa melakukan apa-apa.

Tulisan Sastra✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang