Teror Penunggu Pohon Kersen #1

Start from the beginning
                                    

"Katanya sih, nanti pohonnya bakal ditebang," sambungnya.

"Wah kasian dong, kalau yang maen bola siang-siang gak ada tempat neduh."

"Daripada entar kesambet atau ketempelan tuh nenek. Bisa repot juga."

"Iya juga sih, bisa bikin SAKIT," jawabku.

"Ya udah, Dud. Gw mau beli gorengan dulu, buat sarapan," sambungku, lalu membeli beberapa macam gorengan di warung Bu Enah.

"Oke, Mir. Entar malem maen lah di sini. Siapa tau ketemu sama tuh nenek-nenek," ucap Dudi diikuti tawa.

"Ih males banget," balasku seraya pergi meninggalkan warung. Aku tidak mau mengambil resiko bertemu nenek itu lagi. Baru saja sembuh, masa harus sakit lagi.

*

Selang dua hari kemudian, pohon kersen di samping lapangan olahraga itu akhirnya ditebang. Warga sempat khawatir akan kemarahan sosok penunggu pohon itu. Namun nyata, semua lancar-lancar saja. Tidak ada laporan teror lebih lanjut, sampai ....

Dua bulan kemudian, tersiar kabar. Kalau beberapa tetangga depan pernah melihat penampakan Kuntilanak di sebelah rumah. Kebetulan rumahnya memang sudah lama kosong.

Bagian depannya pun sudah ditumbuhi tanaman liar, termasuk sebuah pohon kersen yang cukup besar. Di sanalah mereka melihat sesosok Kuntilanak sedang berdiri. Kadang duduk di salah satu dahan pohonnya.

"Mir, pernah ketemu Kuntilanak di sebelah gak?" tanya Ibu.

"Kagak, Bu. Emang beneran ada ya?"

"Iya, ini grup WA komplek heboh banget."

"Posisi pohon kersennya kan di samping rumah banget, Bu. Malahan dempetan sama pager depan. Masa kita yang paling deket aja gak tau," ucap Dani.

"Iya, Amir juga gak pernah liat kok, padahal kan sering pulang jam 2-3 subuh," balasku

"Nah itu dia, ibu juga ngerasa aneh. Ini besok ada rapat RT, buat diskusiin masalah ini."

"Ya ampun, masalah begini aja harus rapat RT. Ada-ada aja," timpal Dani seraya meninggalkan ruang tengah, menuju kamarnya.

Esok harinya, rapat benar-benar digelar. Aku dan Dani tidak menghadiri rapat. Biar ibu saja yang mewakili kami. Sepulangnya dari rapat, ibu langsung menghampiri kami yang sedang duduk di ruang tengah.

"Gimana, Bu?" tanya Dani.

"Ya gitulah, ibu ditanya-tanya," jawab Ibu.

"Ditanya apaan?"

"Pernah liat Kuntilanak di pohon kersen samping rumah gak? Begitu."

"Terus ibu jawab apa?" tanyaku.

"Ya ibu jawab aja enggak. Kan emang belum pernah ada yang liat juga di sini."

"Emang aneh sih, masa yang ngeliat malah tetangga depan semua."

"Keputusan akhirnya gimana jadinya?" tanya Dani.

"Katanya bakal ditebang."

"Hadeuh, padahal enak banget duduk di depan sambil ngemilin buah kersen," keluh Dani.

Akhirnya nasib pohon kersen di samping rumah pun sama dengan yang di lapangan olahraga. Ditebang. Bahkan pohon kersen lain yang berada di sekitar komplekku pun ikut ditebang. Segitu takutnya dengan Kuntilanak itu.

Ya ... walaupun aku pernah punya pengalaman menakutkan dengan pohon kersen di lapangan. Tidak perlulah sampai berlebihan seperti itu.

*

Malam harinya, aku pulang ke rumah sekitar pukul 12 malam. Ketika sedang membuka pintu pagar, ada hawa dingin yang terasa di sekitar punggung dan leher. Hingga membuatku merinding. Cepat-cepat aku memasukan motor dan menutup pagar, dengan terus menundukan kepala. Tidak berani melihat ke samping rumah.

Entah kenapa, pundakku tiba-tiba terasa berat dan kepala agak pusing. Setelah mencuci kaki dan muka, bergegasku berbaring di kamar. Tak lama aku pun tertidur.

Aku kembali mendapatkan mimpi yang aneh. Kali ini latarnya di pinggir sungai. Ada seorang wanita sedang duduk, kepalanya bertumpu pada kedua lututnya. Rambutnya panjang terurai, hingga menutupi punggungnya. Dan mengenakan pakai lengan panjang berwarna putih.

Perlahan aku berjalan mendekatinya. Terdengar suara isak tangis.

"Kalian jahat," ucap Wanita itu terisak, masih menundukan kepalanya.

Aku menghentikan langkah, menjaga jarak darinya.

"Jahat?"

"Kenapa kalian menghancurkan rumahku." Wanita itu mulai beranjak dan berdiri. Namun tetap membelakangiku.

"Siapa yang kamu maksud?"

"Ya, kalian semua!" Wanita itu membalikan badannya. Wajahnya putih dengan lesung di pipi kirinya. Matanya agak sipit dan bibir kecil. Khas seperti perempuan sunda.

"Kapan aku menghancurkan rumahmu?"

"Kemarin! Masih saja tidak ingat," balasnya kesal.

"Aku tidak merasa merusak rumahmu."

"Apa kamu tidak ingat dengan Pohon Kersen yang kalian tebang?" tanya masih terdengar kesal.

"Hah?"

"Ingat tidak!" bentaknya.

"I-ya, i-ngat," balasku terbata-bata.

"Nah kalau sudah ingat, sekarang tanggung jawab!"

"Jadi kamu ...?" Aku sudah tau siapa wanita yang ada dihadapanku ini.

BERSAMBUNG

CERITA AMIR (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now