Rev 2

10.8K 200 11
                                    

Suara berisik yang ku yakini bersumber dari dapur membangunkanku dari tidur. Ku gosok-gosok mataku, memaksanya untuk terjaga kembali.

Dengan pelan, aku melangkah masuk ke dapur. Kudapati Mama sedang sibuk memotong sesuatu dengan pisau di tangannya. Lengkap dengan celemek yang sudah mulai pudar warnanya, Mama dengan gesit memasukkan bahan yang sudah ia potong ke dalam panci yang lumayan besar.

“Lagi apa, Ma?”. Tanyaku di sela-sela kesibukannya, membuat Mama menoleh ke arahku lantas mengumbar senyum.

“Lagi masak sup ayam kesukaan kamu, Vi. Ini masih jam 5 lho, kok udah bangun?”. Mama kembali sibuk dengan masakannya, kali ini membubuhkan beberapa penyedap rasa.

“Wangi sih, Ma. Jadi laper duluan deh hehe”. Aku terkekeh pelan.

“Kamu ini. Ya udah, mandi gih. Jam 7 kamu berangkat kerja ‘kan? Sementara kamu mandi, Mama nyiapin sarapan”.

            Tanpa banyak basa basi lagi, aku segera melesat untuk menikmati segarnya air di pagi hari. Yup, hari ini aku harus masuk kerja lagi.

Aku bekerja sebagai pelayan di sebuah swalayan yang lumayan besar yang terletak tak jauh dari rumahku. Itulah alasan mengapa aku tak perlu repot-repot menyewa ojek atau naik angkot saat hendak bekerja. Cukup dengan berjalan kaki.

Mungkin sampai sini hidupku kelihatan sangat sederhana.

Aku cukup bahagia dengan Mama dan memiliki banyak teman. Ya, meski tidak semua dari mereka layak ku panggil dengan sebutan ‘Teman’.

            Rasanya waktu bergulir begitu cepat. Tahu-tahu saja aku sudah berada di jalan yang akan mengantarkanku menuju swalayan tempat dimana aku bekerja.

Ku lirik jam tangan yang bertengger indah di pergelangan tanganku. Jam 7 kurang 10 menit. Ku percepat langkah kakiku mengingat swalayan akan buka sebentar lagi.

Terlambat bukanlah masalah yang kecil di tempat ini. Jika kau terlambat, maka kau harus rela saat gajimu di potong. Yup! Terlalu sadis memang, namun itulah hidup.

Aku beranjak memasuki swalayan saat pintu-pintunya sudah terbuka.

Ku sapa satu demi satu karyawan lain dengan senyum ramah nan manis. Ya, setidaknya begitulah yang ku pikirkan.

“Rev, pulang nanti mau kemana? Ada acara nggak?”. Seorang pria jangkung dengan rambut cepak menepuk pundakku setengah keras. Aku menoleh dan mendapati Nando sedang nyengir kuda ke arahku. Oh, lihatlah! Begitu lucu!

“Nggak ada. Kenapa? Mau ‘nraktir ya?”. Godaku pada Nando yang di balasnya dengan tawa kecil.

“Temenin gue dong. Biasa, ke rumah nyokap di Jakarta”. Aku berpikir sejenak kemudian mengiyakan permintaan kawanku yang satu ini.

            Mungkin kau bertanya-tanya, mengapa aku hanya di panggil dengan sebutan ‘Rev’ dari sekian huruf yang dimiliki oleh empat kata namaku.

Sebutan itu memang sudah ada sejak aku kecil, tepatnya saat aku berumur 13 tahun. Saat dimana sifat kelelakianku muncul.

Aku begitu brutal dan tak tahu aturan. Mungkin disebabkan oleh faktor keluarga.

Teman-teman sebayaku memanggilku ‘Rev’, menurut mereka jika aku di panggil dengan sebutan ‘Revina’ terdengar sangat feminim. Sedangkan aku? Maka dari itu, mereka menyingkat namaku menjadi Rev dan itu berlangsung hingga sekarang. Hingga aku dewasa dan beranjak memasuki umur 20 tahun.

Jika Aku LesbianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang