bag 9. Naik ke Puncak

243 29 2
                                    

Disepanjang perjalanan, aku dan Mas Yudha sama sama diam. Entah kenapa kami merasa sangat canggung. Padahal di chat selalu ada saja bahan untuk dibahas. Bumi itu bulat atau datar tapi aku dan Mas Yudha justru memilih bumi itu adalah putik bunga yang dibawa oleh gajah.

Motor bebek Mas Yudha berjalan dengan kecepatan standart. Disepanjang perjalanan, aku melihat pohon cemara di kanan dan kiri. Laju motor Mas Yudha perlahan berhenti di tulisan parkiran J88.

"Kita kesini mas?" tanyaku dengan mulut terbuka. Mas Yudha melepas helmnya. Dia menoleh padaku lalu mengangguk.

"Iya. Kenapa? adek gak suka?"

Aku menggaruk belakang leherku yang tidak gatal. "Bukan gitu sih. Cuma aku lagi pakai sandal jepit," kataku pelan. Aku melihat sandal jepitku yang berwarna coklat dengan hiasan bunga di ujungnya.

Mas Yudha mengacak acak rambutnya pelan. "Ya ampun maaf banget. Mas lupa gak ngasik tau kalo kita mau ke puncak."

Mas Yudha tampak menyesal. Tangannya bergerak membuka helmku yang masih menempel di kepalaku. "Gapapa deh mas. Gak masalah juga naik ke puncak dengan sandal jepit," ujar aku. Dia tersenyum sambil mengacak poni rambutku. Sontak itu membuat pipiku memanas.

"Yaudah ayo," ajaknya. Aku mengangguk lalu mengikuti mas Yudha. " Lihat tangannya," perintahnya.

"Kenapa?"

"Mau liat aja."

Aku menunjukkan tanganku lalu tangan Mas Yudha langsung mengaitkan tangannya disela sela jariku. "Eh," kataku kaget. Dia tersenyum lalu menarikku untuk masuk ke lorong menuju puncak.

Aku pikir jalan menuju puncak tidak begitu jauh. Nyatanya perjalanan tersebut cukup membuat nafasku naik turun dua kali lipat. "Pak masih jauh ya?" tanya Mas Yudha pada seorang bapak bapak yang baru saja turun dari puncak.

"Palingan juga 5 menit lagi nak," ujar bapak tersebut.

Bapak tersebut berbohong. Selama perjalanan sekitar 10 menit, aku tidak melihat tanda tanda puncak sama sekali. "Aw," ringisku pelan. Aku melihat sandal yang kugunakan sudah putus. Selain itu sela jari kakiku mengeluarkan darah. Kaki kanan dan kaki kiri sama saja tidak ada bedanya.

Kulihat Mas Yudha sudah berjalan cukup jauh di depanku. Sepertinya dia tidak sadar jika aku tertinggal. Aku mengerucutkan bibirku sambil berjongkok menatap sandalku yang sudah putus. Kalo tau begini, lebih baik aku tidak terima ajakannya.

"Eh maaf Anye. Saya gak tau kalo kamu masih disini," ucap Mas Yudha dihadapanku. Aku masih menunduk dan terdiam. "Kamu capek? Kita turun aja ya," ujarnya.

Bisa bisanya dia mengajak turun. Padahal perjalanan kami dari bawah hingga sampai sini cukup jauh. "Tapi ini sudah cukup jauh mas," balasku pelan.

Aku menatap kakiku yang masih berdarah. "Eh kaki kamu luka," ucapnya. Dia baru menyadari kondisi kakiku yang luka luka.

Mas Yudha lalu membelakangiku sambil berjongkok. "Sini," ujarnya sambil menepuk nepuk punggungnya. "Ayo gendong."

"Gak mau. Gak enak ke Mas Yudha ntar capek."

Mas Yudha menggeleng pelan. "Nggak, lagian ini salah Mas juga ngajak kamu kesini. Jadi Mas harus bertanggung jawab atas perbuatan mas," katanya.

Akhirnya aku mengalungkan tanganku ke lehernya. Mas Yudha langsung menggendongku dengan santai sembari membawa sandalku yang putus. "Maaf ya Mas kalo berat," bisikku di telinganya.

Mas Yudha tertawa. "Iya kamu berat banget kaya karung satu ton," ucapnya berlebihan.

"Ish."

"Pegangan yang bener," perintahnya. Aku mengangguk lalu mengalungkan tanganku lebih erat ke lehernya. Perlahan senyumku muncul.

Bunga Anyelir [#2.SGS]Where stories live. Discover now