#14: Hancur

Mulai dari awal
                                    

"Nanti juga lo tau, Vin."

"Sssh. Haidar jangan nangis terus, ih. Itu ingusnya ke mana-mana jorok. Nanti Kak Brandon makin ilfeel loh," Nata memeluk Haidar seraya berusaha menenangkan laki-laki berkulit tan itu yang tak henti-hentinya menangis sejak tadi malam.

"NATA, JANGAN BILANG GITULAH," rengek Haidar. "Emang Haidar jelek, ya? Makanya Kak Don nggak suka sama Haidar? Ya, 'kaaaan? Nata aja sampe bilang gitu." Haidar mengerucutkan bibirnya.

"Enggaaak gitu. Maksudnya kalo Haidar nangis terus, nanti Kak Brandon nggak mau deket-deket gara-gara Haidar cengeng. Haidar tuh harusnya semangat! Jangan cengeng gini," balas Nata.

"Tapi, semalem tuh Kak Don ganteng banget. Nyanyi-nyanyi gitu. Bikin Haidar makin suka. Tapi, Kak Don nggak bisa dimilikin, HUAAAAAA," ujar Haidar sembari sesenggukan. Matanya terlihat bengkak karena menangis terlalu lama. Suaranya juga terdengar mulai serak dan mungkin sebentar lagi akan habis.

"Bisa kok. Suatu saat nanti pasti bisa! Haidar bisa," Nata memeluk Haidar lebih erat. "Udah, jangan nangis lagi. Mending abis ini kita main sama Jihan ke mall. Sekalian cari Juan. Dari pagi aku nggak liat dia," ajak Nata.

Lantas Haidar menguraikan pelukan mereka, "Oh iya. Juan tadi pagi udah pergi, ya? Dia kemana sih? Dari kemaren pergi-pergi terus. Jangan-jangan open BO?"

Nata mengangkat bahunya seraya tertawa kecil mendengar ujaran Haidar, "Nggak tau. Haidar mandi dulu sana. Aku mau ke minimarket beli cemilan buat nanti kita makan sambil nonton sama sekalian beli gosok gigi Jihan, kemarin udah rusak."

Haidar mengangguk paham, "Ya udah. Haidar nitip coklat silver queen satu, ya."

"Iya, udah sana mandi dulu," suruh Nata. Lantas Haidar bangkit dan melangkah menuju kamar mandi. Sedangkan Nata mengambil dompet kecilnya yang berada di dalam tas dan beranjak ke luar kostan untuk pergi ke minimarket. "Beli apa lagi, ya?" gumam Nata sembari berpikir dan menimang-nimang barang apa lagi yang ingin ia beli. "Oh iya, roti tawar kemarin Gavin ngerengek minta dibikinin roti panggang tapi abis. Sekalian sama susu ultra aja deh."

Setelah selesai berbelanja, Nata bergerak untuk menyebrang di jalan raya. Namun, tampaknya ia tak menyadari bahwa dari samping kirinya, sebuah mobil dengan kecepatan cepat berniat untuk mencelakakan laki-laki itu.

Brak!

Setelahnya, pandangan Nata berubah menjadi gelap dengan tubuhnya yang terkulai lemas membentur jalan raya.

"Jadi?"

"Lo tanya sendiri ajalah sama orangnya. Muak banget gue liat muka busuk dia. Manis di depan, busuk di belakang. Lo manusia apa mayat sampe bisa membusuk gitu? Perlu gue pakein pengawet nih?" sarkas Juanda.

"Gilang?" panggil Gavin.

Gilang berdecak, "Apa?"

"Lo kenapa bisa sampe di borgol gini? Lo emang ngapain? Nyuri? Nyipet?" tanya Gavin pada adik tingkatnya itu.

"Kepo lo," jawab Gilang asal yang langsung mendapat tendangan keras pada bangku tempat ia di borgol dari Gian—ia sudah menahan amarahnya sejak tadi. "Dia tuh kerja sama, sama si Vincent itu. Buat hancurin lo terus rebut Nata dari lo. Lo sadar nggak sih, Vin?" Gian berusaha menjelaskan. Namun, Gavin masih tak mengerti. Mungkin lebih tepatnya tak menyangka apa yang Gian katakan.

"Hah?"

"DIA MAU HANCURIN LO SAMA NATA, GAVIN! LO BUDEG?!" seru Juanda dengan nada tingginya.

"Tapi, kenapa? Kenapa lo mau ngancurin gue sama Nata, Lang? Emang gue salah apa sama lo?"

"Salah lo adalah rebut Kak Nata dari gue. Kak Nata itu harusnya sama gue. Bukan sama lo Gavin sialan!"

"Lo yang sialan," Gian menonjok pipi kiri Gilang dengan keras. "Jaga mulut lo, ya."

"Bener kok! Gue udah dari dulu deketin Kak Nata susah-susah terus cowok sialan ini dateng gitu aja hancurin semuanya. Gue udah coba sabar tapi lama-lama dia ngelunjak. Apalagi semenjak ada anak pungut itu."

Gavin menggeram, "Jangan sebut Jihan anak pungut. Sekali lagi mulut kotor lo itu bilang sembarangan, gue nggak akan segan buat bikin mulut lo sobek sampe nggak bisa ngomong, ya."

Laki-laki yang terikat di atas bangku dan menampakan memar di seluruh wajahnya tersenyum miring, "Liat aja nanti. Siapa yang akan menang dan siapa yang akan hancur. Gue udah nggak perduli sama Nata sialan itu juga. Gue cuma mau kalian berdua hancur! HANCUR!" Gilang berteriak layaknya orang gila.

Gavin baru saja ingin menghajar Gilang. Namun, suara telepon dari ponselnya menahan tangan kekar milik lelaki sipit itu. Lantas ia mengangkat panggilan yang masuk, masih dengan tatapan yang berapi-api, "Halo?"

"Gavin ... Gavin, ini Mama, nak. Kamu ke sini sekarang ya?"

"Kenapa, Ma?"

"Nata ... Nata, Vin. Nata tadi kecelakaan. Sekarang kondisinya kritis." []

La Victoiré. ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang