32. Ezard Wattson

1.1K 105 7
                                    

⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒

Hari ini sabtu. Dan sekarang malam minggu. Malam yang seharusnya aku habiskan untuk sekedar mencari angin bersama Naima menelusuri jalanan kota dengan Ferrariku.

Berdua saja. Menikmati desauan angin yang masuk melalui sela-sela kaca. Membicarakan hal-hal tidak penting seperti; kenapa cacing itu digadang-gadang sebagai satu-satunya makhluk paling setia dalam penelitian.

Mengejek rambut Naima yang bertingkah seperti gadis gatal di depan wajah, atau sekedar menertawakan pedagang kaki lima yang menyerapah ketika gerobaknnya tersandung batu kerikil. Jahat sekali.

Malam dan Naima adalah perpaduan yang paling sempurna. Selalu aku rindukan dimanapun dan kapanpun. Itu sebabnya aku tidak pernah membiarkan diriku bekerja di luar rumah ketika malam tiba.

Aku hanya akan mentolerir diriku dengan berkas-berkas yang tidak ada habisnya di kamar kami berdua. Sering juga mencuri pandang pada Naima yang mungkin sangat bosan melihat kesibukanku setiap malam–tapi wanita itu jarang sekali mengeluh dan hanya akan tidur membelakangiku jika ia benar-benar sudah tidak kuat menahan kantuknya karena menungguku.

Jika bisa, aku tidak ingin bekerja seperti ini. Aku hanya ingin menggodanya sepanjang hari dan membuat wajahnya seperti udang terbakar setiap pagi. Itu bagian favoritku dalam hidup. Aku senang melihat wajahnya yang bersemu malu. Aku suka melihat gelagatnya yang pura-pura tidak tahu padahal ia mengetahui kalau aku sedang merayunya.

Dia wanita aneh. Menyenangkan.  Berkepribadian ceria. Mampu menampung keluh kesahku. Dan yang paling jelas, aku membutuhkannya sebagai tempatku pulang. Meski perasaanku padanya masih abu-abu.

Aku menarik napas dalam-dalam. Memperbaiki posisi. Mengingatnya saja sudah membuatku sebahagia ini. Apalagi kalau malam ini aku benar-benar bersamanya, mungkin aku akan lebih bahagia.

Tapi lihat, pekerjaan sialan ini justru membuatku harus duduk di salah satu kursi diantara pebisnis lainnya di ruangan pengap ini! Huh! Masalah bisnis dan perayaan tidak akan ada habis-habisnya.

Persetan dengan perayaan gedung yayasan baru di sudut Jakarta. Aku justru hanya ingin pulang ke rumah dan bersandar di bahu kecil istriku! Mencium pipinya sampai merah dan memeluknya sampai sesak napas. Lalu tertawa geli, melihat wajahnya yang memerah karena marah. Kebiasaan wanita! Pura-pura tidak menyukainya, padahal sangat suka diperlakukan demikian.

Aku duduk menghadap meja bundar bersampul kain hitam. Tiga orang lainnya yang duduk satu meja denganku adalah pria bertubuh besar dengan kepala botak yang selalu ditutup dengan topinya, usianya mungkin sudah 67 tahun, tapi tubuh dan pikirannya masih bisa diajak bekerjasama untuk bertemu dengan orang banyak, ia pengurus yayasan yang aku dirikan.

Kemudian di sampingnya ada wanita muda seusia Naima, berwajah jelita dengan senyum manis yang selalu kulihat saat mata kami bertemu, dan namanya Kiki, pengurus yayasan memperkenalkannya padaku sebagai anaknya.

Terakhir, di samping gadis muda itu ada pria yang usianya kira-kira 37 tahun, berwajah bijak dengan senyuman yang terlihat berwibawa, kantung matanya besar, menandakan kalau ia tidak cukup tidur, katanya ia pebisnis baru. Maklum saja, mungkin sedang sibuk-sibuknya merintis karir. Toh aku juga tidak peduli berapa banyak kantung mata yang ia miliki. Yang aku pikirkan saat ini hanyalah bagaimana bisa menghilang dan melarikan diri dari acara sialan tidak berguna ini.

Baru beberapa menit yang lalu aku naik ke podium untuk sekedar memberikan kata-kata sambutan, sekaligus menerima piagam berbingkai kaca dari kepala pengurusnya dan anggota sebagai bentuk terimakasih karena katanya sudah menyelamatkan kehidupan banyak anak sejauh ini.

Meski aku dilanda bosan yang teramat parah, itu tidak membuat acara berhenti begitu saja. Acara tetap berlanjut, bahkan aku tidak ingat kalau penampilan demi penampilan sudah berlangsung di depan mataku selama tiga puluh menit terakhir ini. Tetapi sejauh yang bisa kuingat saat membaca susunan acaranya tadi, ada penampilan drama musikal, paduan suara, pembacaan puisi dan yang bisa kutangkap saat ini ialah tarian dari beberapa anak panti dan seorang gadis muda di atas panggung.

"Kau ingin berkenalan dengan wanita itu?" tanya pengurus yayasan yang entah sejak kapan ia memerhatikan gerak-gerikku sehingga menangkap basah diriku yang tengah memperhatikan gadis muda di depan sana.

Ia memakai gaun putih tapai. Rambutnya disanggul dan beberapa anaknya dibiarkan tergerai di bagian depan, memperlihatkan lehernya yang putih mulus. Gaunnya mengembang saat ia berputar menikmati tarian, kakinya yang mulus tanpa ragu berbelok di atas pentas. Tidak, aku gagal mengkalim bahwa acara ini sangat membosankan. Justru ini acara yang lebih menarik dari yang seharusnya karena wanita itu ada di sana.

"Apa yang kau katakan, Pak." Aku tertawa tidak habis pikir ketika menyadari ucapan pria tua itu barusan.

"Dia kelihatan tertarik juga padamu."

"Kami bahkan tidak saling mengenal."

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada wanita yang menari di depan sana.

"Dia terus melirik ke arahmu, Nak."

Aku tersenyum masam dan mengambil gelas di depanku. Memutarnya dengan dua jari di atas meja. Dan aku berakhir dengan sebuah gelengan kecil di kepala. "Ada-ada saja."

"Bohong jika kau tidak tertarik padanya." Itu kata gadis 20 tahun yang duduk di samping pengurus yayasan itu. Anaknya tadi.

Aku melihat pemilik suara itu sebentar, sebelum akhirnya mengalihkan perhatian sepenuhnya pada gadis muda yang masih menari lincah di depan sana. Kali ini, tariannya lebih indah dari beberapa detik yang lalu. Ia berputar dengan satu kaki dan tangan diatas kepala membentuk bulatan, bersamaan dengan itu ia membebaskan rambutnya yang tadi diikat. Lalu, rambutnya juga ikut melayang di udara bersama putaranya yang belum sampai ke tahap akhir.

"Aku sudah punya istri, asal kau tahu."

"Memangnya ada hukumnya pria yang sudah beristri tidak boleh melirik wanita lain?" Oh, gadis manis itu berbicara lagi padaku.

"Menikah berarti kau harus siap berkomitmen. Memegang teguh janjimu. Melaksanakan tanggung jawabmu dan menjaga hati istrimu. Dengan tidak melirik wanita lain sebanyak kau melirik istrimu. Tidak memikirkan wanita lain seliar kau memikirkan istrimu. Itu bagian dari cara menjaga pernikahan."

Bapak dan juga anaknya itu tersenyum ketika mendengar apa yang kukatakan barusan.

"Tapi siapa yang tahu kau juga menyimpan orang lain dalam hatimu?"

Sial! Kali ini pebisnis baru yang menyerangku! Apa-apaan ini? Aku tidak sedang dalam mode ingin berdebat dengan siapapun.

"Aku bukan tipikal laki-laki yang sibuk memikirkan wanita mana yang akan kutiduri malam ini–"

"Bahkan kita belum membicarakan gadis di depan sana sampai ke tahap itu." Pemuda 37 tahun itu tersenyum tipis.

Aku benar-benar kalah.

⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒

Ibu Rumah Tangga-ku🔞

| Kapan kau pulang, Pak?
| Aku sudah lama menunggu.
| Kakiku sudah bengkak karena digigit nyamuk.
| Cepat pulang, aku merindukanmu.
| Selalu rindu.
| 🫰
| 😘

Oh, aku tersenyum ketika membaca pesan beruntun dari Naima yang baru saja masuk saat aku mengaktifkan data.

Segera kupasang sabuk pengaman dengan satu tangan dan tangan yang lain mengetikkan pesan untuk istriku yang murah senyum dan jarang sekali marah itu.

Aku akan pulang |
Sekarang masih di depan gedung yayasan |

|

Ohhh, akhirnya kau membalas pesanku juga!🥲
| Aku benar-benar merindukanmu, Pak. Tolong cepat kembali ke pelukanku😩

Salah sendiri |
Padahal aku sudah mengajakmu tadi😤 |
Dan sekarang malah merindukanku😝 |

| Maaf, Pak.
| Tapi aku benar-benar lelah tadi 😑
| Sudah sana! Kau tidak akan kembali padaku jika terus membalas pesanku😐

Iya, Sayanggg |

| Aku mencintaimu😘

Dan obrolan di WhatsApp terhenti di sana. Aku mengehela napas dan menghidupkan mesin mobil.








......

Season With You || Lee Jeno [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang