31. Naima Rosdiana

Start from the beginning
                                    

Mendengar hal itu Ezard memelukku semakin dalam, memberikan kehangatan lebih banyak dan mencium dahiku berkali-kali. Sementara aku hanya ingin memeluknya lebih lama dan menangis di dadanya sampai aku merasa benar-benar tenang.

"Aku takut." Aku kembali berujar. Hingga membuat lelaki itu menyelipkan kedua tangannya di ketikaku dan mengangkat tubuhku. Kali ini membuatku duduk sepenuhnya di atas pangkuannya. Ia menggosok punggungku. Kemudian menepuk-nepuk pinggangku.

"Kau mimpi buruk?"

Aku hanya mengangguk dan memandangnya sebentar. Kemudian kembali menangis. Barulah lelaki itu terkekeh dan raut khawatir di wajahnya berganti dengan kelegaan.

Ia menyelipkan rambutku yang sudah memenuhi wajah ke belakang telinga. Kemudian mengecup bibirku sekilas. "Kau menangis seperti aku benar-benar hilang, Nai."

Sementara aku masih menangis dan menyembunyikan wajahku kembali di perpotongan lehernya. "Aku sungguh ketakutan tadi."

"Ayo pulang."

"Tidak."

"Kenapa lagi?"

"Aku hanya ingin memelukmu."

"Bisa dirumah nanti."

"Tidak! Aku butuh sekarang!"

"Memangnya bisa menyetir dengan posisi seperti ini? Polisi akan menilang kita jika sampai melihatnya."

"Aku hanya ingin dipeluk. Itu saja."

"Baiklah, Sayang. Peluk aku sampai kau merasa puas."

Dan pada akhirnya, Paman Gober lah yang menyetir, karena aku bersikeras tidak mau melepaskan pelukanku. Ezard terpaksa menelpon Paman Gober dan menyuruh lelaki tua itu untuk naik ojek ke toko bungaku. Kemudian membawa mobil Ezard melewati jalanan yang ramai.

⁠۝ ͒ ⁠⁠۝  ⁠⁠۝ ͒

Aku baru saja selesai mandi dan keramas sekaligus. Kata Ezard, aku harus benar-benar menyegarkan diri dengan berendam air hangat agar beban di kepalaku sedikit menguap.

Itu saran yang tidak berguna sama sekali. Buktinya, kepalaku masih terasa berat dengan bebannya yang seolah menanggung semua masalah penduduk planet bernama bumi ini.

Seharusnya tadi tanpa mendengarkan perkataan Ezard, aku langsung tidur dan bergulung di balik selimut. Tetapi sialku juga mendengarkan saran dari si penerus perusahaan properti yang katanya begitu terkenal di Indonesia itu.

"Jam berapa sekarang?" Aku berjalan mendekati suamiku itu yang tengah duduk di tepian ranjang dengan handuk kecil di tangannya.

Aku berusaha melihat jam di pergelangan tangan Ezard, tetapi suamiku yang nakal ini malah menjauhkan tangannya hingga tidak terjangkau oleh pandangan mataku.

"Sudah malam tapi kau masih saja bermain-main!" Aku sungguh-sungguh membentaknya.

Kau tahu, setelah rindu berat yang menyerangku tadi, aku kini malah merasakan kekesalan yang teramat parah pada lelaki itu. Mengingat bagaimana ia meninggalkanku dalam mimpi membuatku ingin mengoyak mulutnya hingga ia tidak bisa mengatakan hal yang sama lagi.

"Tadi kau menangis dan tidak ingin melepaskan pelukan satu detikpun. Sampai-sampai aku harus menelepon Paman Gober untuk sekedar menyetir. Dan sekarang? Kau marah-marah seperti seorang nenek sihir! Sungguh, Nai, jika kau berulah lagi, aku hanya akan menertawakanmu."

"Ezard!!!" Suaraku masih tinggi. Aku sangat malau ketika ia mengejekku begitu. Tetapi aku tidak punya pilihan lain selain menjangkau tangannya dan melihat jam berapa sekarang?!

"Kau mau apa dengan jam, Nai?" Ezard berseru lirih tepat di ujung telingaku.

"Berhenti main-main!" Aku masih kesal padanya, sungguh!

"Yang benar saja, Nai?" Ezard mengeluh. "Sekarang pukul sebelas malam. Kau tahu? Hampir dua jam kau menangis di toko dan saat kutanya kau kenapa, kau hanya menjawabnya dengan tangisan."

"Maafkan aku."

"Itu saja?"

"Memangnya apa lagi?"

"Kau tidak ingin menjelaskan mimpi apa yang membuatmu menangis?"

"Besok saja. Aku sudah ngantuk."

Laki-laki itu kemudian menarik tanganku, membuatku duduk di sampingnya. Kemudian mengeringkan rambutku yang basah.

"Lain kali jangan tidur di sembarang tempat."

"Aku tidak berniat tidur disana."

"Aku hanya takut kau sampai kenapa-kenapa."







.......

Season With You || Lee Jeno [✓]Where stories live. Discover now