Chapter 64 Voidwright (4)

Start from the beginning
                                        

Lingkaran bercahaya yang megah muncul di sekeliling Fitran — Glyph of Binding, Seal of Will, Catenary of Light, Mandala of Reason, masing-masing bersinar dengan kekuatan dan makna yang mendalam, menciptakan aura kekuatan dan determinasi.

Namun, Fitran tak bergerak sedikitpun. Dengan tenang, ia berkata pelan, "Kalian mengurung tubuh. Tapi aku adalah yang melampaui tubuh," suaranya seperti bisikan angin yang menembus batasan fisik.

Selanjutnya, dunia di sekelilingnya mulai bergetar, tergerak oleh sebuah kekuatan yang tak terlukiskan, seakan-akan setiap partikel di udara merespons pernyataan Fitran dengan keheningan yang mendalam.

Secara perlahan, langit yang biru cerah mulai retak, menampilkan celah-celah berkilauan seperti cermin kaca yang tidak mampu menahan beban emosinya yang mendalam. Dari celah-celah retakan itu, cahaya gelap merayap dengan penuh misteri, menyelimuti seantero bentang alam dalam nuansa kelam yang menggigit. Pepohonan mengkerut, daunnya layu dalam kepedihan; mereka tampak seolah akarnya menarik diri kembali ke tanah, takut akan kenyataan kelam yang sedang menjelang.

Dataran kristal hancur menjadi ribuan cermin realitas yang saling bergetar. Setiap cermin merefleksikan kecemasan dan keraguan, menciptakan ilusi yang menyesatkan akan kehadiran diri mereka yang terjebak dalam kebuntuan yang mendalam. Para Magus melihat diri mereka, namun sosok yang kembali memandang tampak melankolis, seolah bayangan mereka sendiri menuding kesalahan dan kegagalan. Kengerian itu menyebar bagaikan kabut pekat, menutup ingatan akan harapan yang mungkin sudah lenyap abadi.

Albrecht melangkah ke depan, menebas bayangan-bayangan itu yang berkelindan di sekitarnya. "Jangan tertipu. Ini hanya sihir mental," ucapnya tegas, mencoba menembus ilusi yang menyelubungi mereka. Namun, Magus ketujuh mendadak jatuh, terjerembab dengan jeritan yang mengoyak suasana. Matanya tampak kosong, seolah menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dilihat—dirinya sendiri, terperangkap dalam refleksi menakutkan dari realitas yang diciptakan Fitran, sebagai debu tanpa nama yang hampa.

Satu demi satu, Magus mulai goyah, kegelisahan merambat dalam jiwa mereka. Mereka melontarkan mantra—Arc Ray, Absolute Seal, Final Ascension—namun setiap serangan bagaikan peluru yang hanya menghantam ketenangan tak terucap milik Fitran, yang berdiri dengan tenang.

Tiba-tiba, Fitran mengangkat tangannya dalam sebuah gerakan sederhana, dan waktu tercengkeram. Semuanya berhenti seolah terjerat dalam keheningan yang menakutkan, terpadam dalam ketidakpastian yang membekukan.

Kecuali Albrecht, yang berdiri tegak dengan nafsu bergejolak di dalam hatinya.

Sang Lord menebas udara, dan waktu kembali mengalir, namun lambat, berat, seperti diseret oleh kehendak yang lebih tua, menantang segala hukum. Di sekitar mereka, warna-warna mulai pudar, seolah cahaya telah kehilangan kekuatannya untuk menembus tirani bayangan yang menindih. Langit yang sebelumnya cerah berubah kelabu, dengan kilatan angin tajam yang berlarian memecah kesunyian, menambah rasa gelisah yang melingkupi para Magus.

"Fitran!" teriak Albrecht, suaranya penuh emosi. "Apa kau ingin melihat dunia ini terbakar hanya karena kau tidak bisa menerima batasan?" Di ujung pandangannya, tanah retak, memunculkan jurang-jurang gelap yang seolah siap menelan segala harapan. Aroma busuk dari kehampaan menyelimuti mereka, mengingatkan setiap jiwa akan kerentanan yang mengintai dalam menghadapi akhir.

Fitran mendekat, langkahnya ringan namun mendesak; setiap langkahnya mengguncang dunia yang rapuh ini, seakan menggetarkan fondasi realitas yang mereka huni. "Bukan dunia yang akan terbakar. Hanya topengnya," ucapnya dengan suara tegas, melawan guncangan yang mengancam di sekeliling mereka. Di bawah langit kelam, bangunan-bangunan yang dulunya megah kini bergetar dan runtuh, seperti patung-patung usang yang hancur oleh waktu, menghancurkan masa lalu dalam dentuman mengerikan, seolah mengisyaratkan bahwa segalanya adalah ilusi yang rapuh.

Ia menatap Albrecht dari dekat, mata mereka bertemu dalam keheningan yang mencekam, dan dalam satu detik yang terasa abadi, tak ada mantra, tak ada pedang, hanya satu kalimat menghantam. "Kau ingin melindungi dunia. Tapi dunia telah memilih mati... hanya agar bisa terlahir sebagai dirinya sendiri." Seakan terjerat dalam labirin waktu yang tak berujung, para Magus merasakan beban momen itu, seolah waktu menghimpit mereka dengan ingatan akan betapa ringannya nyawa dan betapa beratnya kehampaan yang membayangi di luar sana.

Albrecht terdiam, wajahnya dipenuhi rasa tidak percaya, matanya melebar menyaksikan kehancuran yang meluluhlantakkan segalanya di hadapannya. Para Magus kembali sadar, merasakan detak jantung yang semakin cepat dalam keheningan. Delapan masih berdiri tegak, sementara empat lainnya terjatuh tak bangun lagi; rasa dingin merayap perlahan ke seluruh tubuh mereka, seakan memeluk erat semua harapan yang tersisa dalam kesunyian yang menyesakkan. Tetapi mereka tahu: ini bukan lagi tentang menang atau kalah.

Ini adalah tentang memahami sebelum terlambat. Dan dengan ketegangan yang menyelimuti udara, dunia yang dulunya penuh warna kini berubah menjadi lukisan kelam; guratan hitam menggambarkan kepasrahan dan keputusasaan, seolah waktu sendiri telah membawa mereka ke ambang kegelapan, di mana harapan tampak semakin samar.

Memory of HeavenWhere stories live. Discover now