#11: Lose Something

Start from the beginning
                                    

"Gue ngerti. Tapi, gue nggak dapet apa poin yang pengen lo sampaiin ke gue," Juanda menunduk sembari memainkan resleting jaketnya dengan asal. "Dan dari mana dia tau coba? Padahal nggak ada yang cerita. Gue juga selama ini tutup mulut—bukan, bahkan gue baru tau."

"Lo sendiri 'kan tau, dia kan emang tipe orang yang emang kayak gitu," balas Gian. "Gue nggak mengelompokkan dan mengomentari orang berdasarkan ini dan itunya atau nuduh-nuduh asal tapi ya memang begitu."

"Terus lo tau dari mana? Jangan-jangan lo kongkalikong sama dia?" tuduh Juanda.

"Ya nggaklah?! Gila aja lo. Gini-gini juga gue masih waras," Gian tak sengaja meninggikan nadanya karena tak terima dirinya dituduh secara tak bedasar seperti itu. "He used to be my best best friend. Gue tau gimana sifatnya. Ya nggak susah juga buat baca ekspresi sama gerak-geriknya. Kentara banget lagian."

"Terus lo mau ngapain? Mau berantem sama dia gitu?"

"Yang itu juga enggak. Tapi, liat nanti ajalah. Kalo dia udah keterlaluan ya gue maju. Kalo dia masih bisa mikir dan mau main rapi, gue juga bisa," Gian tersenyum miring, sontak mendapat komentar dari Juanda. "Sok banget lo berasa superior bener."

"Halah bacot lo juga nggak bantu," balas Gian tak mau kalah.

"Just watch me out."

Nata baru saja berhasil membuat Jihan tertidur. Sedaritadi anak itu rewel sekali entah karena apa. Mungkin memang karena sudah memasuki jam tidurnya dan ia mengantuk. Kini, Nata tengah menatap ke luar jendela kamar Gavin. Entah kenapa belakangan ini Jihan lebih mudah tertidur lelap di kamar Babanya. Padahal ia juga mempunyai kamar sendiri semenjak anak itu diputuskan untuk diadopsi oleh Gavin dan Nata. Untuk Nata sendiri, biasanya tidur di kamar tamu atau tidur bersama Jihan. Walau sesekali masih pulang ke kostan karena merasa tak enak terus menerus menginap di rumah orang.

Tiba-tiba sebuah lengan melingkar di perut Nata. Membuat laki-laki itu berjengit kecil sebelum menolehkan kepalanya dan menemukan Gavin dengan wajah lelahnya tengah menaruh dagu miliknya di atas bahu kanan Nata.

"Sorry. Sebentar aja."

Nata menghela napas berusaha menetralkan degup jantunya. Antara terkejut karena tingkah Gavin yang terlalu tiba-tiba, atau memang ada gelenyar aneh yang menggelitik perutnya setiap kali laki-laki itu berada di dekat sang laki-laki yang lebih tua. Akhirnya Nata mencoba mengabaikan Gavin dan kembali menatap ke arah jendela. Rintik-rintik kecil hujan terlihat menghiasi kaca bening itu, ditambah suhu kamar Gavin yang kian menurun membuat Nata sesekali bergidik kedinginan.

"Kenapa?" tanya Nata pelan dengan nada lembut pada Gavin seraya mengelus tangan laki-laki itu yang melingkar pada pinggangnya. "Capek. Lagi banyak tugas," jawab Gavin seadanya lalu kembali melesakkan wajahnya pada ceruk leher Nata. Namun, Nata tahu bahwa ada hal lain yang mengganggu Gavin hingga membuat laki-laki itu tidak tenang.

"You know, you can tell me," bisik Nata. Ia lantas membalikkan tubuhnya, masih dengan lengan Gavin yang setia melingkar di pinggangnya seolah tak mau bergerak dan ingin terus menerus memeluk pinggang ramping itu. "Lucu, ya." Gavin tertawa hambar.

"Apanya?"

"Padahal kamu yang mau pergi. Padahal aku nggak ada hak buat nahan kamu di sini. Tapi, kenapa rasanya kayak aku nggak ikhlas?" Gavin menundukkan kepalanya, "Aku belum kenal kamu se lama itu, belum juga tau gimana sifat kamu sampai se dalam itu. Bahkan mungkin kamu anggap aku cuma karena aku Babanya Jihan. And thinking about it, make me hurt even more ... sorry, Na."

Nata sedikit terkejut dengan apa yang baru saja Gavin katakan. Selama ini mereka memang tidak seterbuka itu terhadap satu sama lain walau sesekali mengeluh saat terlalu lelah dengan tugas yang juga dibarengi oleh kewajiban mengurus Jihan. Status mereka juga tidak jelas akhirnya seperti apa. Tapi, Nata percaya Gavin, dan begitu juga sebaliknya. Menurut Nata, itu sudah cukup. Ia juga tidak ingin meminta lebih. Selama Jihan dan Gavin juga bahagia, ia bahagia.

Tapi, hari ini rasanya berbeda.

"Gavin, listen to me," Nata bergerak mengelus pipi Gavin dengan pelan. "Kenapa mikir gitu? Walaupun kita belum kenal lama dan sedeket itu, aku selalu nyaman ada di deket kamu, karena kamu itu Gavin. Dan walaupun kamu mikir, kamu nggak punya hak atas aku, itu juga sebabnya aku selalu minta pendapat kamu dulu sebelum mutusin apapun. Itu karena aku mau kamu nggak ngerasa sendiri dan selalu ngerasa dibutuhin. Aku nggak pernah anggap kamu sekedar Babanya Jihan, you're more than it. You're Gavin and nobody else can be you. Aku percaya sama kamu, Vin. Dan kamu tau, kepercayaan itu hal yang penting buat aku,"

"Aku juga udah mikirin tentang rencana lanjut kuliah S2ku secara matang-matang." lanjut Nata.

Gavin lantas menatap wajah Nata sembari melebarkan matanya, "Bener? Terus gimana? Kamu jadi keluar negeri?" tanyanya bertubi-tubi.

Nata terkekeh, lantas menggeleng, "Nggak jadi. Aku pikir saat ada orang yang bilang 'sometimes we have to lose something to gain another thing' itu bener. Ada hal yang lain yang lebih mau aku jaga dan perjuangin walaupun rasanya masih berat dan aku masih mencoba buat rela."

"And what is that?"

Nata menoleh ke arah Jihan. Anak perempuan cantiknya yang tengah terlelap dengan begitu tenang. Membuat hati Nata menghangat dan seulas senyum tipis tercipta dengan otomatis di wajah Nata. "It's her," Nata lalu menatap Gavin kembali. Kali ini, tatapannya lebih teduh. "And it's you."

"But, why? Na, aku nggak mau jadi penghalang ka—"

"Because it's you from the start. It's always been you, Vin."

Gavin lantas memeluk Nata dengan erat. Seolah ia takkan bisa lagi memeluknya di hari esok. Kini Gavin mengerti, bahwa presensinya itu sangat berharga di hidup Nata lebih dari apa yang ia bayangkan selama ini. []

La Victoiré. ✔Where stories live. Discover now