BAB 28 SHE IS?

12.5K 2.4K 169
                                    


Azel itu ya Azel. Dia sangat manis. Memanjakanku dan menurutiku kemanapun. Kemarin aku sangat senang karena dia paham kalau Sella dan Keanu sepertinya ada masalah, maka dia mengusulkan agar kami pergi bersama, dan memang benar, Sella dan Keanu sepertinya sudah kembali akrab. Aku senang.

Aku sedang mematut diriku di depan cermin, karena hari ini Azel berjanji akan membawa kami ke Swiss, katanya naik kereta saja biar lebih mesra dari sini. Ehmm aku tidak akan mempermasalahkan biayanya, karena aku tahu Azel pasti sudah merencanakan ini semua. Pagi setelah mandi, Azel permisi ke resto di bawah. Akan memesankan aku makanan dan menungguku di sana. Sementara aku mandi dan ganti baju.

Aku tersenyum puas saat menatap outfit yang aku kenakan. Aku kali ini ingin tampil dengan kesan edgy, boots dan pleated skirt serta leather jacket sudah cukup memuaskanku. Kuambil tas dan segera beranjak keluar dari dalam kamar. Aku ingin menyenangkan Azel, dengan tampil lebih cantik.

****

Senyumku terus mengembang selama perjalanan dari kamar sampai ke lantai bawah. Sudah tidak sabar ingin melihat reaksi Azel. Entah kenapa saat ini, reaksi Azel sudah menjadi hal utama untukku. Atau mungkinkah aku sudah mulai mencintainya?

Kugelengkan kepalaku, mencoba untuk menghalau itu semua. Sapaan ramah saat sampai di depan restoran makin membuat senyumku makin lebar. Dan saat aku mengedarkan pandangan ke sekitar, mencari sosok Azel, mataku menangkap sosoknya yang sedang berbicara serius dengan seorang wanita. Jantungku berdegup kencang saat melihatnya. Wanita? Azel dan wanita memang tidak bisa dipisahkan. Tapi aku tidak menyangka kalau akan menemukan Azel di sini sedang menggoda seorang wanita. Aku melangkah perlahan menuju tempatnya duduk. Posisi Azel tampak membelakangiku, sehingga dia tidak melihat.

Saat aku sampai di belakangnya persis, wanita cantik, dengan rambut panjang sebahu di depannya menatapku. Dia tahu kehadiranku. Refleks Azel langsung berbalik, matanya sedikit terkejut. Tapi kemudian senyum itu terlihat.

"Sayang, aku udah menunggu kamu."

Dia beranjak dari duduknya dan kini melangkah mendekatiku. Memeluk pinggangku dan langsung membuat aku menempel di tubuhnya. Aroma parfum Bulgari yang khas teh membuatku nyaman. Aku baru tahu dia memakai parfum itu saat kemarin menemaninya belanja.

"Cris.. perkenalkan, ini istriku tercinta, Selli."

Wanita cantik yang masih menatapku lekat itu akhirnya tersenyum. Dia beranjak berdiri dan mengulurkan tangannya.

"Cristin, temannya Dylan."

Aku menjawab dengan kaku, aku selalu tidak nyaman berinteraksi dengan teman Azel, karena aku takut wanita di dekatnya itu pasti ada kenangan masa lalu dengannya. Tidak mungkin mereka berteman secara tulus.

"Sini, aku udah pesenin kamu makanan, sebelum kita naik kereta ke Swiss."

Azel berbisik di telingaku, saat aku duduk di sebelahnya. Sedangkan Cristin tampak tersenyum melihat interaksi kami.

"Kalian menikah kapan? Kok aku nggak diundang?"

Suara ramah itu membuat Azel terkekeh, dia mengusap kepalaku dengan perlahan.

"Kabar gembira kayak gitu nggak perlu kamu tahu. Nanti kamu ngerusak."

Cristin tampak mengerucutkan bibirnya tapi kemudian mengulas senyumnya.

"Nih ya, siapa juga yang ngerusak? Yang ada kamu ngerusak pertunanganku sama Ben."

Azel tergelak lalu meniriskan steak yang sudah terhidang di depanku. Dia memotong daging itu menjadi kecil-kecil, lalu menyerahkan piringnya kembali ke hadapanku. Dia memang sangat manis.

"Ben itu brengsek, dia sudah punya istri saat bertunangan sama kamu. Bukankah aku benar? Dengan menggagalkannya? Kamu bisa dapat yang lebih baik."

Ucapan tulus itu membuat Cristin menghentikan makannya dan kini menatap Azel. Aku hanya bisa mengamati karena aku merasa asing di sini. Mereka sudah seperti sahabat lama.

"Iya, makasih. Owh kalian di sini berapa lama?"

Cristin menatapku dan Azel bergantian. Azel kini menoleh ke arahku "Mau berapa lama sayang?"

Tentu saja aku mengerjapkan mata mendengar pertanyaannya. Tapi sepertinya niatku untuk satu minggu di sini sudah menguap. Tiba-tiba aku tidak nyaman dengan ini semua. Berapa banyak lagi teman Azel yang akan ditemuinya? Aku tahu Azel mengajakku ke sini, karena dia pernah hidup di sini selama 2 tahun lamanya, dan yang pasti dia akan mengenang masa-masa dulu. Dan aku merasa cemburu.

"Ehm, besok udah pulang," jawabku datar. Membuat mata Azel melebar. Dia tentu saja terkejut dengan jawabanku. Tapi yah itu sudah keputusanku, lebih baik aku pulang ke Jakarta secepatnya, karena di sini pasti akan menorehkan luka kalau lebih lama.

"Wah, cepet banget, ya? Padahal tadinya aku mau ngajakin kalian lihat rumahku yang ada di Irlandia, sambil menikmati pedesaan di sini yang dijamin memuaskan."

Ucapan Cristin itu tidak membuat aku goyah. Pokoknya aku harus pulang. Aku melirik Azel yang sepertinya juga sudah tidak berminat lagi, karena dia menoleh ke arahku. Banyak pertanyaan yang tersirat di matanya.

****

Akhirnya kami tidak jadi ke Swiss, aku menggagalkannya dengan mengatakan sakit kepala. Azel tidak banyak bertanya, dia membawaku ke dalam kamar lagi setelah Cristin berpamitan pulang.

"Li, minum obat? Mau aku telponkan Gani obat apa yang cocok untuk kamu? Siapa tahu kita bisa beli di sini."

Ucapan Azel membuat aku menatapnya yang kini sudah duduk di tepi kasur. Aku sudah duduk bersandar di kasur, dan memainkan ponselku. Masih kesal dengan Azel karena tidak menjelaskan apapun tentang si Cristin tadi.

"Nggak mau minum obat."

Azel mengernyitkan kening, lalu meraih jemariku dan membuat ponselku jatuh ke atas kasur.

"Kamu marah?"

Aku mengangkat alisku, dan tidak mau menjawab. Biar dia merasa kalau dia bersalah. Kenapa mengundang seorang wanita di sini.

"Aku mau pulang."

Azel menghela nafasnya, dia kini menggenggam jemariku dengan erat. Lalu mendekat ke arahku.

"Soal Cristin ya? Maaf. Kami tidak sengaja bertemu. Dia itu temanku saat pertama aku di sini. Dia yang membuat aku bisa beradaptasi, dan yah dia sudah bersuami sekarang, Li. Kamu nggak perlu cemburu."

Aku langsung mengibaskan tangan Azel, dia tidak menolak. Mataku sudah menatapnya dengan kekesalan yang entah berapa kali lebih kesal daripada tadi.

"Aku nggak cemburu, tapi nggak etis aja Zel, ada wanita dari masa lalu kamu. Padahal kita lagi bulan madu di sini. Aku nggak mau, kita diganggu. Walaupun itu temanmu sekalipun. Besok-besok pasti akan muncul lagi wanita-wanita yang lain. Mantan kamu mungkin."

Ucapanku membuat Azel kini terdiam, dia hanya menggelengkan kepalanya. Tapi sepertinya tatapannya terluka saat menatapku.

"Aku tidak seburuk itu, Li. Tapi maaf kalau semua masa laluku mengganggu kamu. Aku akan pesan tiket, untuk kita pulang."

Jawabannya seperti air dingin di hatiku. Kenapa dia jadi berubah dingin seperti itu? Apakah aku memang kelewatan? [ ]

BERSAMBUNG

TYPO DI HAPUS SENDIRI YAAA 

SANG PENGGODAWhere stories live. Discover now