Toni dan Beno langsung menoleh, menatap mata Delam, kemudian mengangguk-angguk semangat. “Eh iya, gue juga laper. Ayok-ayok laper banget nih gue,” seru Beno, sementara Toni masih nyengir, gigi udah berasa mengering.

“Senn, kantin dulu ya, laper kita. Mari, Sen,” pamit Delam dengan anggukan sopan seperti pada ketua RT, kemudian mereka bertiga bergegas pergi, berbelok ke arah koridor. Tapi sebelum pergi, Delam sempat melirik tajam Freya yang masih nongol memeletkan lidah di belakang Arsen. Jari tengah Delam meronta-ronta ingin diacungkan.

-

 “Lo kenapa sih, Lam?” tanya Beno seraya meneguk soda kalengnya. Delam tak juga bergeming sejak tadi, sesampainya di kantin dia tidak memesan apa-apa hanya menidurkan kepalanya di atas meja, memandang ke samping melihat orang-orang yang berlalu lalang di luar kantin.

Toni melemparkan pilus yang hendak dia makan, tepat mengenai hidung mancung Delam, tapi tak juga membuatnya bergeming.

“Yaudah, biarinlah. Lagi gak ada orangnya," ucap Toni lalu mengalihkan pandang ke gerombolan anak kelas 1 yang baru memasuki kelas, jauh di depan sana.

“Heran gue, adek-adek kelas kok pada cakep-cakep amat ya, Ben,” katanya sembari menatap tak berkedip dengan mulut terus mengunyah.

Beno yang posisinya membelakangi arah pandang Toni, menengok ke belakang sekilas.  “Ah, kalo menurut gue sih tetep kakel yang paling cantik-cantik. Apalagi yang kelas 12 IPA 1 noh, beuhhh ... udah cantik pada pinter lagi kan, sayang mau gue gebet gak kesampean," Beno mengakhiri dengan ratapan.

“Ya iya, cowok kelasnya aja ganteng-ganteng banget, anjir. Pada cinloklah mereka. Buat apa lirik yang lain. Gebetan gue aja jadiannya sama mantan ketua osis macem Zay anying, Zayn maliknya Trinity, gue mah apa.” Toni mendengus panjang, memang tidak ada kesempatan untuknya mengambil hati sang kakak kelas.

Ck, lagian lo kalo sama Kak Bunga itu gak sinkron, Ton. Berat sebelah,” Beno berucap diakhiri tawa renyah. Toni melirik tak terima. Inginnya dia bisa menyangkal, tapi, yaa, bagaimana, dalam hati mengakui, emang berat sebelah. Bagaikan budak yang jatuh cinta pada sang putri raja.

Kakak kelasnya yang bernama bunga itu, tak berlebihan jika Toni ibaratkan seorang putri raja. Bayangkan saja, tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih, wajahnya seperti bidadari, lakunya anggun, dan otaknya cerdas. Modelan wanita seperti itu mungkin memang hanya cocok dengan seorang pria bernama Zayyen, jelmaan pangeran. Si mantan ketua Osis, juara olimpiade, dan ketua tim basket yang pernah memenangkan pertandingan di tahap internasional. Semua siswi lupa cara bernapas jika melihat Zay. Sosok yang terlalu sempurna untuk menjadi manusia.

Beno melirik Delam yang masih tak bergeming padahal dia sengaja membahas tentang Bunga dan Zay yang biasanya selalu sukses membuat Delam berkomentar pedas.

“Lam, kalo lo mau ke game online, ayok dah. Kita jalan depan aja, pura-pura mau fotocopy, ” ajak Beno.

Toni yang juga menyadari Delam sangat aneh, hanya diam saja saat membahas Zay, mengangguk kuat. "Iya, Lam. Ayok dah, gue yang ngibul tar," ucapnya. Lama-lama khawatir juga dengan sobatnya yang satu itu, tapi Delam tetap tak bergeming sedikit pun.

“Ya, anjir. Kerasukan kayaknya, Ton.”

Toni memiringkan kepala melihat arah pandang Delam, pohon beringin yang tak begitu besar yang berada tak jauh dari kantin.

“Setan beringin,” celetuk Toni.

Beno langsung bergidik. “Gue harus manggil siapa nih, Ton. Si Abdul?” Mata Beno membulat, jadi takut. Mungkin Abdul, si ketua rohis yang terkenal pintar mengaji dan katanya bisa meruqiyah, bisa membantu Delam.

Delam 1999 (Selesai) Where stories live. Discover now