PART 61

6.5K 526 64
                                    

Setiap Delam tidur, Iren selalu memandanginya, itu sudah jadi bagian dari rutinitasnya beberapa hari terakhir. Bahkan bisa semalaman Iren tak tidur, hanya memandang putranya yang terlelap, sampai adzan subuh berkumandang. Lama-lama memandang, air mata Iren selalu turun begitu saja.

Di temaramnya suasana malam, Tama beranjak begitu melihat punggung istrinya bergetar, menghampiri ibu dari putra-putrinya itu, memeluknya dalam. Iren meredam tangis di dada bidang pujaan hatinya. Ketakutan selalu menghantuinya setiap malam dan saat menjelang pagi berganti hari.

--

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsallam."

"Lho, Mas, pagi-pagi udah ke sini. Lagi gak ada kerja?"

"Nggak, Mi. Mas ngambil libur. Ini baru dari sekolah, anterin Ayya sama Zen, sekalian beli sarapan buat Mami sama Papi. Bubur kari."

"Mmm, pantes harum banget, pasti enak nih." Iren beranjak, menghampiri dengan wajah antusias.

"Mas, udah sarapan? Kok cuma beli dua."

"Udah, Mi. Tadi sebelum berangkat."

Iren mengangguk-angguk. "Bagus, jangan ninggalin sarapan. Papi lagi mandi. Mami sarapan duluan aja deh, ya. Gak sabar mau nyicip."

Iren duduk di kursi meja makan. Masih dengan wajah antusiasnya, membuka cup bubur, wangi kari langsung semerbak. Matanya melebar saat satu sendok bubur masuk ke dalam mulut.

"Mmm, enak banget lho, Mas. Mas, harus coba. Nih, Mami suapin." Iren menyodorkan sendok berisi bubur, dengan tangan kiri menengadah di bawah sendok.

Karena sendok sudah ada di depan mulut, mau tak mau Prada membuka mulut.

"Enak, kan?" tanya Iren dengan mata melebar.

Prada mengangguk, tersenyum kecil. "Enak banget."

"Mau lagi?" tawar Iren.

Prada menggeleng. "Nggak, kenyang."

Iren tersenyum, menyuap kembali bubur itu dengan riang. Maminya memang pintar menyembunyikan suasana hati, tapi matanya yang selalu sembab itu, tak mudah hilang.

"Delam belum bangun, Mi?"

"Belum, biarin, tadi baru bisa tidur jam 3-an. Nanti juga bangun pas dokter visit," sahut Iren sembari memakan buburnya dengan lahap. Prada bangga punya mami seperti Iren, dia terpuruk, tapi tetap bisa menguasai keterpurukannya.

-

"Eunggghh ... erghh--"

Suara-suara yang menandakan ketidaknyamanan keluar dari mulut yang tertutup masker oksigen itu. Kernyitan di dahinya semakin menegaskan, sedang ada yang membuatnya tersiksa dan mengganggu kantuknya.

Delam capek. Mau tidur, tapi nyeri dari dalam dada kirinya kini seakan menjalar ke tulang punggung belakang sampai bahu. Bukan nyeri yang begitu menyiksa, tapi tetap saja dia tak bisa menutup mata dengan tenang karena itu. Tidak kah cukup dengan sesak yang tak hilang-hilang?

"Miiihhh ...."

Selalu mami yang disebut untuk mengadu. Iren hanya bisa mengusap-usap punggung putranya itu, walaupun dia tahu tidak akan bisa menghilangkan sakitnya. Delam tetap mengusik tak nyaman. Begini salah, begitu salah.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsallam."

"Mami." Si kembar kompak memanggil dan tersenyum lebar, mencium tangan Iren bergantian. Keduanya baru pulang sekolah, terbukti dengan seragam yang masih melekat di tubuh mereka.

Delam 1999 (Selesai) Where stories live. Discover now