PART 52

6K 502 68
                                    

Delam senyum-senyum, ketawa, dan mengumpat sendiri sambil mantengin instagram. Teman-temannya kompakkan posting foto lama dia dan menambahkan caption yang menandakan kerinduan secara langsung maupun tak langsung. Tak terasa sudah mau genap satu semester, jalan tanpa Delam. Delam tertawa membaca kicauan mereka di kolom komentar yang kemudian berpindah ke grup whatsapp kelas. Bibirnya yang semula tertawa lebar lama-lama menurun perlahan, berubah jadi senyum tipis. Beberapa bulan lagi Ujian Nasional, Lexa bilang dia harus ikut UN bersama mereka terus lulus bareng. Delam mengembuskan napas panjang. Mana ada otak dia buat ikut UN, belajar di rumah aja nggak pernah.

"Lam, gabut gak?"

Bangsat, Zay! Delam terperanjat. Kepala abangnya itu tiba-tiba nongol tanpa aba-aba di ambang pintu kamar Delam yang terbuka.

"Napa?!" Delam bertanya sewot. Kesal. Dia memang seringnya tidak menutup pintu, tapi bukan berarti orang bisa nongol seenaknya. Ketuk dulu lah minimal, biar gak bikin jantungan.

"Makan keluar, yuk sama Zen. Bertiga."

"Lo yang traktir?" tanya Delam. Kalo dia yang bayar, ya gak punya duit.

Zay mendecak. "Yaiyalah, siapa lagi."

"Tumben baik."

"Dibilang gue emang baik, lo-nya aja yang gak sadar-sadar," ucap Zay.

Semenjak jadi mahasiswa. Entah itu berpengaruh atau tidak, tapi abangnya itu memang jadi lebih baik. Ya, lebih manusiawilah menurut Delam.

"Mami izinin?"

"Ya izininlah, sepet juga kali liat lo di rumah terus."

Delam melirik dengan decihan. Zay ngomong gitu pake ekspresi serius, lalu menarik diri dari ambang pintu setelah berteriak kepada Delam untuk cepat bersiap-siap. Nyesel dia sebut Zay lebih manusiawi.

-

"Bang, uangnya ada?" Suara Iren menggema di ruang tamu, bertanya begitu tiga jagoannya terlihat sudah siap pergi.

"Ada kok, Mi."

"Cukup gak?"

"Cukup."

"Okey, kalo kurang bilang Mami, ya. Seneng-seneng kalian."

"Bye, sana pergi aku mau quality time sama Mami. Dadah, Abang, hati-hati."

Ayya awalnya pasang wajah resek saat menatap Zen dan Delam, kemudian beralih melambaikan tangan dengan bibir tersenyum manis saat menatap Zay.

Melihat kelakuan si ular itu, Zen dan Delam kompak mendecih.

--l

Zen duduk di depan, samping Zay yang mengemudi, sementara Delam di belakang, udah kayak tuan muda, melipat tangan di belakang kepala dengan kursi sedikit diturunkan, tumpang kaki, dan mulutnya bersenandung mengikuti lagu yang Zay putar.

Semenjak pasang LVAD, tidak banyak keluhan yang Delam rasakan. Asal makanan dan juga aktivitas fisiknya dijaga, lalu minum obat teratur, Delam merasa hidupnya lebih normal. Walaupun, ya, kalau melihat dua buah baterai dalam tas selempang yang harus selalu dia bawa ke mana-mana, cukup menampar kata normal. Tapi setidaknya dia bisa beraktifitas seperti orang pada umumnya, bahkan pagi-pagi di hari minggu kemarin, Delam ikut cari sarapan bersama Zen dan Zay sambil jalan-jalan di car free day. Suatu kemajuan pesat, mengingat minggu-minggu terakhir sebelum operasi, untuk bangun pun dia sulit.

-

Restoran tempat mereka mau makan ada di mall lantai dua. Baru masuk mall, Zen udah ngajak melipir ke toko sepatu. Delam mengikuti dengan langkah malas,
tertinggal beberapa langkah dari Zen dan Zay yang berjalan di depannya.

Delam 1999 (Selesai) Où les histoires vivent. Découvrez maintenant