PART 57

7.9K 552 116
                                    

Delam pernah bertanya pada Iren. Berapa besar uang yang telah mereka keluarkan untuk mempertahankan hidupnya sampai sekarang? Iren menjawab; mungkin jika dikumpulkan bisa membeli rumah satu komplek di perumahan elit. Yang membuat mata Delam langsung membulat lebar. Tapi tak heran sih, satu kali check up dan ngambil obat saja bisa menghabiskan beberapa juta, belum lagi jika ada pemeriksaan lain, biaya rawat inap, operasi, dan lain-lain.

"Jadi, Kakak harus sembuh, lulus sekolah, lulus kuliah, terus kerja, biar bisa balikin uang Papi," kata Iren waktu itu, yang membuat Delam protes setelahnya. Harus jadi kuli apa dia, biar bisa beli satu komplek perumahan elit.

Delam menggerakkan tangan, mengepal lemah. Setidaknya, beri dia kekuatan untuk sekadar bicara, berucap maaf kepada kedua orang tuanya, karena mungkin, semua yang telah mereka keluarkan untuknya, tak akan bisa dia bayar, bahkan sepeser pun.

--

Tama baru terlihat hari ini, dengan setelan kemeja abu mudanya memasuki ruang rawat Delam. Iren berdiri menyambut sang suami yang baru saja tiba. Mencium tangannya yang dibalas dengan pelukan dan kecupan singkat di kening. Pandangan Tama beralih, kakinya kemudian melangkah mendekati ranjang. Mata Delam terpejam rapat.

Tak menyangka keadaan ini akan menimpa putranya lagi. Tama pikir untuk beberapa tahun ke depan akan aman, tidak akan ada lagi kesakitan yang menghampiri Delam. Tama mengecup kening Delam, seperti yang dia lakukan pada Iren, hanya saja untuk putranya ini, dia berikan sedikit lebih lama. Isakan pelan terdengar. Tama menoleh ke belakang, Iren tetap berdiri di tempatnya, menggigit bibir, mulai terisak seperti anak kecil.

"Lho, kenapa?" tanya Tama, melangkah menghampiri sang istri lagi.

"Udah dong, Mi. Nanti gimana kalo Kakak liat."

Isakan Iren tak berkurang, Tama menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan kedua tangan.

"Mami gak pernah liat Kakak sampai kayak gitu. Sesakit apa yang dia rasain, Pi? Mami mau coba, biar nggak Kakak aja yang menderita."

Tama merengkuh Iren ke dalam pelukan. Seakan air matanya itu tak habis-habis, sejak kemarin Iren mengadu padanya selalu dengan tangis. Tama tak tahu bagaimana Delam kemarin, tak tahu bagaimana kejadian di ambulance yang memukul telak mental Iren, kali pertama Iren menyaksikan langsung bagaimana kalang kabutnya petugas medis di saat detak itu hampir menghilang.

-

"Zay, lo gak ikut rapat?"

Zay menggeleng saat teman kampusnya menghentikan langkahnya di Koridor.

"Maaf ya, gue udah bilang kok sama Bang Seno."

Temannya yang bernama Setya itu mengangguk, mengerti dengan situasi. Setya juga punya adik. "Keadaan adek lo gimana?" tanyanya.

Zay mengatupkan bibir, melihat ke lantai, lalu mendongak menatap Setya. "Nyokap gue bilang, hari ini udah mulai baikkan," sahutnya, diakhiri senyum yang sangat tipis.

"Semoga adek lo cepet sembuh."

Zay mengangguk. "Makasih, gue balik duluan, ya," pamitnya kemudian, menepuk lengan Setya pelan, berlalu dengan senyuman tipis. Hanya di depan Setya. Setelah berbalik, senyum di bibir Zay luntur. Bibirnya kembali terkatup rapat. Teringat, sebaik-baiknya kondisi Delam, tetap saja ada di ambang hidup dan mati. Hari ini dia akan menginap di rumah sakit dengan Prada, maminya akan pulang dengan Papi untuk beristirahat sejenak di rumah.

-

Tak sopannya Prada dan Zay, mereka berdua makan malam dengan sate di ruangannya. Yang walaupun Delam tak begitu suka karena yang dia sukai hanya sushi dan ayam kecap, tapi wangi sate yang nusuk hidung itu, membuatnya meneguk ludah. Mana sudah beberapa hari, Delam tak bisa makan secara langsung, hanya diberi nutrisi lewat infus. Delam menatap kedua kakaknya itu dengan tatapan sayu yang tajam. Keduanya duduk di meja makan yang ada di sudut ruangan.

Delam 1999 (Selesai) Where stories live. Discover now