Part 3

16 3 1
                                    

"Jika tak ingin membuat seseorang berharap. Maka jangan kau tunjukkan seolah-olah kau telah memberikan harapan."

🍁~Irayna Putri Safira~🍁

Malam ini langit terlihat cerah. Berhiaskan rembulan dan kelap-kelip bintang yang bertabur di luasnya langit malam. Malam ini, tak seperti malam-malam yang lalu. Yang selalu menampakkan mendung kelabu.

Demi menikmati indahnya langit malam ini, Irapun terduduk disebuah kursi yang dia letakkan di rooftop rumahnya. Rooftop rumah Ira berbeda dengan rooftop rumah-rumah yang ada di sekitar kompleknya. Karena keluarganya telah menyulap rooftop rumah mereka menjadi sebuah taman kecil yang nampak asri dan estetika.

Tak cukup sampai di situ. Karena, malam ini rooftop rumah Ira dipenuhi dengan lampu-lampu warna-warni yang berkelap-kelip. Tapi yang satu ini bukan sebuah pekerjaan Ira atau orang tuanya. Lampu-lampu ini dipasang oleh Rafka, kakak Ira. Dengan dalil bahwa dia ingin mengajak makan malam pacarnya di rooftop rumahnya.

Anggun, mama Ira dan Rafka. Hanya bisa mengijinkan atap rumahnya digunakan sebagai tempat kencan putra sulungnya itu. Dia berpikir dari pada anaknya keluyuran tidak jelas di luar sana, lebih baik dia menggunakan atap rumah mereka sendiri yang telah disulap menjadi tempat yang indah di  malam hari.

Ira yang saat ini tengah iseng menikmati hiasan hasil jerih payah kakaknya itu. Terduduk menatap langit sembari menikmati segelas coklat hangat buatan mamanya tadi. Saat dirinya mulai hanyut dalam lamunannya sendiri, mulailah dia mendengar suara lelaki yang sangat familiar di gendang telinganya. Siapa lagi sosok lelaki itu, kalau bukan Ari.

Samar-samar Ira mendengar, sahabatnya dan kakaknya itu sedang tertawa terbahak-bahak di teras rumahnya. Namun Ira tak memperdulikan hal itu. Karena malam ini dia hanya ingin menikmati langit malam yang indah.

Sedang dalam batin Ira, dia yakin dalam hitungan ke sepuluh. Sahabatnya itu akan sampai di rooftop tempatnya berada sekarang. "Satu." ucap Ira lirih. Dia mulai menghitung, dan samar-samar bisa di dengarnya. Lelaki itu kini sedang memasuki rumahnya dan menyapa orang tuanya yang tengah mengobrol di ruang tengah.

"Dua...tiga...empat...lima." tepat pada hitungan ke lima suara kaki seseorang mulai menaiki anak tangga.

"Enam...tujuh...delapan..." samar-samar suara orang yang sedang bercengkrama di depan pintu rooftopnya pun mulai terdengar.

"Sembilan..." tepat di angka ke sembilan pintu rooftopnya terbuka. Dan menampilkan dua sosok lelaki yang sedang asyik bercengkrama.

"Sepuluh..." Dan tepat di angka kesepuluh, dua sosok itu muncul di hadapan Ira.

Ari yang selalu khas dengan cengirannya. Dan Bang Rafka yang tengah tersenyum dengan pakaiannya yang sudah rapi. Dia memakai celana jeans hitam. Memakai kaos putih polos, dengan luaran kemeja pendek berwarna biru dongker. Tak lupa dengan rambut andalannya yang disirir sedikit tidak rapi. Yang menurut Ira malah seperti preman pasar.

Tapi saat melihat Ari, untuk pertama kalinya Ira terpukau dengan penampilan sahabatnya itu. Meski hanya menggunakan celana jeans hitam  dengan kaos pendek putih yang melekat di tubuhnya. Serta jaket warna army yang dia sampirkan di pundaknya. Membuat kesan tersendiri bagi Ira.

Namun baru Ira sadari juga, ternyata dua lelaki yang berada di hadapannya kini sama-sama memakai kaos putih dengan lengan pendek. Ya, meski memakai luaran yang berbeda. Tapi mereka tetap saja memakai kaos yang sama, seperti anak kembar yang berbeda wajah dan orang tua.

"Ngapain lo kesini?" tanya Ira ketus pada Ari.

"Yaelah, Ra. Baru juga nyampek udah diketusin aja sama lo."

Rasa Yang Harus TerjedaWhere stories live. Discover now