OTY 39. Kehilangan yang Menyakitkan

732 171 39
                                    

Satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman, tempat disemayamkannya tubuh Rasti

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Satu persatu pelayat mulai meninggalkan area pemakaman, tempat disemayamkannya tubuh Rasti. Sayup-sayup terdengar orang-orang itu membicarakan Rasti semasa hidupnya. Rasti yang cantik dan pintar, sewaktu muda menjadi primadona. Dia begitu dielu-elukan dulu, terlebih saat ia berhasil masuk ke sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta, decak kagum warga desa tak henti membanjiri keluarga Rasti. Semua orang bangga dengan pencapaian Rasti yang luar biasa, di desa mereka tak ada yang bisa memasuki PTN, yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi saja dapat dihitung. Dan Rasti bisa memasuki PTN dengan beasiswa penuh adalah pencapaian luar biasa. Dia dulu begitu dipuja. Namun semua berubah ketika beberapa tahun kemudian Rasti pulang dengan membawa seorang bayi. Sontak hal itu membuat warga desa terkejut. Kalau memang Rasti sudah menikah, mengapa tak ada seorang pun warga desa yang tahu?

Keluarga Rasti pun memilih bungkam mengenai bayi yang bersama Rasti. Setiap warga desa yang bertanya soal siapa ayah bayi itu, Rasti akan menjawab ayah bayi itu sedang bekerja di luar kota. Sementara orang tua Rasti akan membantah mentah-mentah pernyataan Rasti.

Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa bayi Rasti adalah anak haram.

Tuduhan itu membuat Rasti down, ditolak oleh orang tua dan saudara sendiri dan dituduh memiliki anak haram oleh warga sekitar. Anaknya lah yang menjadi satu-satunya kekuatan Rasti untuk bertahan. Rasti memilih tinggal di rumah peninggalan neneknya untuknya, tinggal terpisah dengan orang tuanya yang masih belum menerima keputusannya untuk menikah dengan lelaki pilihannya dan mengabaikan permintaan kedua orang tuanya menikah dengan saudagar kaya di desanya.

Tiap waktu ia menunggu kedatangan suaminya. Suaminya yang berjanji akan kembali saat sudah memiliki banyak uang. Hari pun berganti bulan, bulan berganti tahun. Suami Rasti tak kunjung pulang, kabar pun tak ada. Hal itu menguatkan dugaan pernikahan Rasti hanya lah kebohongan. Mau menunjukkan bukti semacam surat nikah pun tak bisa, Rasti menikah siri, dan berencana mendaftarkan pernikahannya secara resmi nanti.

Rasti terus menunggu dan menunggu, sampai akhir hayatnya pun ia menunggu, menunggu kedatangan suaminya yang juga merupakan papa kandung Ode.

Ode menghapus air mata di sudut matanya saat seseorang menepuk pundaknya. Saat ia menoleh neneknya berdiri di sampingnya dengan raut wajah sedihnya yang tak jauh berbeda dengannya.

"Ode, ayo pulang, nak," elus nenek Ode dan berusaha menguatkan cucunya. Ada sesal yang bertengger di hatinya saat menyaksikan wajah sedih cucunya usai di tinggal oleh mamanya. Dia menyesal pernah membenci Rasti karena keputusan yang menurutnya terbodoh, dia menyesal pernah mengakui Ode sebagai cucunya. Sekitar dua tahun lalu saat suaminya jatuh sakit dan dia tak memiliki apa-apa, hanya putrinya Rasti dan Ode yang selalu ada untuknya. Sementara putra-putrinya yang lain acuh setelah harta warisan mereka sudah dibagikan.

"Nek, aku boleh di sini dulu kan? Aku nggak akan lama kok," sahut Ode memaksakan sebuah senyuman.

"Baiklah. Tapi jangan lama-lama ya, soalnya sedang mendung."

Ode mengangguk, menggenggam tangan neneknya sebelum beliau pergi dari area pemakaman bersama saudaranya.

Hingga tinggal dirinya dan gundukan tanah kuburan mamanya di sana. Langit yang mendung menjadi saksi kesedihan seorang anak yang ditinggal satu-satunya orang yang dicintai.

"Ma, Ode harus bagaimana sekarang?" Air mata kembali tumpah. Tangan kanannya menggenggam tanah kuburan mamanya yang masih basah.

"Ode nggak tahu harus ngapain. Ode nggak tahu bisa bertahan atau nggak. Kenapa mama nggak ngajak aku pergi juga?" Isakan pelannya berpadu dengan suara kicauan burung yang terbang dari satu pohon ke pohon lain. Desanya yang masih asri membuat burung masih ditemukan dengan mudah.

Dirinya yang biasanya kuat walau menerima banyak caci-maki, kini merasa lemah. Dia yang begitu rapuh, dan tak tahu harus kemana. Kembali ke Jogja meneruskan studynya? Ode rasa tidak—

Ia merasa tak sanggup tinggal seorang diri di dunia yang kejam ini.

"Ma, orang itu nggak datang," ucapnya lirih.

Di saat hari-hari terakhir mamanya pun, ia masih mendengar kalimat positif yang menyatakan orang itu akan datang. Tapi apa???? Sampai mamanya terbaring kaku di liang lahat pun orang itu tak datang. Ode enggan menyebutnya papa, ayah, bapak ataupun panggilan lain yang tak pantas disandangnya.

***

Ode berjalan gontai menuju rumah neneknya, selama mamanya sakit, beliau dirawat oleh neneknya. Di rumah itu pula para tetangga dan saudara yang dulu membencinya akan berkumpul untuk acara tahlilan mamanya.

Pandangannya yang sayu menyapu rumah neneknya yang semakin dekat. Keberadaan sebuah mobil putih di depan rumah neneknya menarik atensinya.

Sudut kanan bibirnya terangkat. "Nggak mungkin itu dia."

Ya, Ode sudah merasa sangsi pemilik mobil itu adalah papanya yang tak ada kabar dua puluh tahun lamanya.

Ode memasuki pekarangan rumah neneknya. Seorang wanita seumuran mamanya keluar dari rumah. Ode menghentikan langkahnya, menatap wanita itu lekat-lekat. Seorang lelaki keluar tak lama kemudian bersama neneknya.

Ode membuka sedikit bibirnya, ingin berucap sesuatu namun lidahnya kelu. Tak ada kalimat yang bisa ia sampaikan. Hatinya terlanjur berantakan.

Wanita itu menghampiri Ode dan langsung memeluknya, kehangatan pelukan wanita itu sedikit meredakan kegundahan di hatinya. Ode mengangkat tangannya, sedikit ragu membalas pelukan itu.

Isakan tangis wanita itu membuat hati Ode ikut sakit.

"Tante tahu ini berat Ode sayang tapi Tante tahu kamu pasti kuat—Rasti, mamamu adalah wanita yang kuat begitupun kamu."

Air mata Ode tak terbendung dan membasahi gaun hitam yang digunakan wanita itu.

"Tante Nana, aku harus bagaimana?"

Wanita itu mengeratkan pelukannya, seolah tak ingin Ode jatuh karena kesedihan yang dirasakannya. Pandangan Ode bertemu dengan lelaki yang berdiri di samping neneknya. Lelaki itu terlihat sedih dan sangat kehilangan. 

Om Abrar dan Tante Nana. Ode mengenal betul kedua orang itu. Saat mamanya di titik terendah, om Abrar dan Tante Nana lah yang memberi bantuan dan semangat.

"Aku ingin ikut mama, Tante "

Tante Nana melepaskan pelukannya dan terlihat marah mendengar ucapannya. "Nggak. Kamu nggak boleh bilang begitu sayang. Mamamu akan sedih kalau mendengarmu berbicara seperti itu."

"Nggak ada alasanku untuk bertahan, Tante."

"Ada. Pasti ada sayang." Tante Ratna menggenggam kedua tangannya, memandangnya dengan penuh perhatian. Pandangan kasih sayang seperti yang biasa mamanya berikan untuknya.

"Kalau Ode ikut pergi bagaimana dengan nenek?"

"Lalu bagaimana dengan temanmu? Kamu punya teman baik di jurusanmu kan?"

"Dery. Tante ingat?"

"Ingat. Mana mungkin Tante lupa karena kamu sering cerita ke Tante."

"Lalu Tante dan om Abrar—" air mata di sudut mata Tante Nana membuat hati Ode terasa perih. "Kami semua akan sangat sedih."

"Kamu nggak mau kan membuat orang yang sayang sama kamu sedih?"

Ode berpikir sebentar sebelum akhirnya menjawab. "Nggak. Aku nggak mau, Tante."














-tbc-

Gimana-gimana? Teka-teki yang udah terpecahkan belum????

Share opini kalian di sini🤭

ODE TO YOUWhere stories live. Discover now