08. Masalah

981 285 19
                                    

"Satu masalah, akan sangat menyakitkan untuk didengar membuat kita diam enggan melanjutkan kebiasaan."

Masih setia dengan novelnya, seseorang mengetuk pintu kamar Acha membuat ia mendongak dan tersenyum hangat kepada Mamanya.

"Ada apa, Ma?" tanya Acha tak biasanya Sinta malam-malam menemuinya.

Sinta menghampiri Acha yang dari tadi tengkurap sembari membaca. "Mama mau bicara, Cha."

Acha terduduk berhadapan dengan Mamanya. "Hmm," gumam Acha ia pun melipat bagian akhir bacaannya.

Digenggamnya kedua tangan Acha erat. "Mama gak bisa nemenin kamu minggu ini, Cha, ada kerjaan mendadak ke luar kota," jelasnya menatap manik Acha.

"Kok bisa? Bukannya Mama udah bilang ada kerjaannya pagi sebelum party?" tanya Acha mengingatkan janji Sinta saat mereka membicarakan pekerjaan dan acara perpisahan Acha.

Sinta menunduk, merasakan getir jika kembali ia tinggalkan anak tunggalnya itu. "Mama gak bisa, Cha, kamu tahu, 'kan? Sekretaris itu wajib—"

"Wajib mengikuti bosnya ke mana pun!" sela Acha sebal mendekap tangannya di dada.

"Acha, kamu sudah besar, mama gak bisa turutin apa kata kamu terus, ini demi perusahaan yang mama takuti akan gulung tikar."

Chandra dan Sinta adalah sepasang suami istri yang telah bertekad untuk menggapai kariernya, mereka bersusah payah membagi waktu dengan anaknya, tetapi yang ada Sinta harus memutuskan sebagai kepala perusahaannya karena Acha yang lama-lama akan semakin membencinya.

Di perbatasan sana, Chandra penuh semangat bertaruh nyawa demi NKRI dan keluarga yang lama menunggunya. Tepatnya bagian orang-orang Melayu, ia menjaga ketat perbatasan demi keamanan.

Setelah lama hanya hening. Sinta mendekap tubuh Acha erat, merasa berat beban yang pasti dirasakan Acha, namun ia tetap harus bekerja demi cita-citanya.

Tiba-tiba isakan tangis terdengar, membuat Sinta seolah menyakiti terus anak tunggalnya.

"Cha ... nanti mama belikan oleh-oleh, ya," ucap Sinta.

Acha melepas pelukannya dengan mata yang masih berlinang oleh air matanya. "Andaikan, jika aku membeli jasa Mama bisa nemenin selalu aku di rumah, bisa gak sih?! Aku gak butuh ribuan uang buat kebahagiaan, Ma! Aku cuma butuh kasih sayang, gak lebih!" jelas Acha tersenggal-senggal menahan tangis.

Sinta hanya bisa bergeming menggelengkan kepalanya. Ia pun pergi dari kamar Acha membekap mulutnya tak kuasa menahan pula tangisannya.

Setelah ia menutup pintu, tubuhnya ambruk bersandar ke pintu yang barusan ia tutup. Teringatlah kepada suaminya yang entah sedang apa di sana.

Dirogohnya handphone yang selalu setia dalam saku celananya. Sangat lama jika ingin panggilannya diterima, dikarenakan jaringan telepon yang tidak memadai begitupula tugas yang tak hentinya berdiam istirahat.

"Hallo?" Sapa seseorang yang teramat dirindunya.

"Mas? Apa kabar?" tanya Sinta menahan haru mendengar suara suaminya.

"Sinta, istriku?! Alhamdulillah baik, sayang ...."

Sinta tersenyum bahagia mendengar balasannya. "Kapan kamu pulang, mas?"

Ribuan kali, setiap kali jika awal menelpon Sinta akan bertanya seperti itu, membuat Chandra tersenyum getir, hanya satu tahun dua kali ia pulang, tepatnya di hari raya idul fitri dan tahun baru saja.

"Masih jauh tanggal pulang, sayang," balasnya menenangkan membuat Sinta meremas jemarinya kesal.

"Acha, mas! Aku harus ke luar kota, ia kembali sendirian," ungkapnya mencurahkan unek-unek yang semalaman terpikirkan olehnya.

Di sana Chandra hanya bisa menggigit kukunya bingung. Sekarang bulan pertengahan, tak dekat dengan lebaran begitupla dengan tahun baruan.

"Ada Prabu, dia akan pulang minggu depan."

Sinta menggeleng lemah akan jawaban suaminya yang memilih untuk menitipkannya kembali Acha kepada tetangga.

"Aku gak bisa pulang, Sin, ini tugasku, mengabdi kepada negara!"

Senyuman kecut terukir dari bibir Sinta. "Lalu, ke mana kewajibanmu sebagai suami dan ayah?!"

Kembali Sinta mengungkitnya membuat Chandra muak, mereka sana-sama mengejar karir tanpa mempedulikan anak tunggalnya dan juga sama-sama egois.

"Cukup, Sinta! Kita pernah membicarakannya, kau bebas dengan pekerjaanmu sedangkan aku pula begitu!!" tegas Chandra.

Sambungan telepon pun terputus, Chandra yang mematikannya ia tak ingin masalah kecil menjadi dibesar-besarkan, lagipula ia mulai tenang dengan adanya seseorang di sampingnya sekarang.

***

Sore hari yang cerah tergantikan dengan tiba-tiba hujan lebat mengguyur Kota Kembang itu membuat Sinta yang sudah siap-siap berangkat menuju bandara pun kecewa harus terhenti.

"Tandanya alam gak merestui, Ma!" celetuk Acha sembari membuka lipatan payung.

"Mau ke mana, kamu?" tanya Sinta tak mengubris apa yang diucapkan anaknya barusan.

"Ke panti asuhan!" jawab Acha ia pun berjalan santai keluar menuju arah kiri yang tak lain adalah rumah Devid.

Saat kakinya tepat berada di lantai dingin halaman Devid, Acha begitu saja membuka pintunya tanpa mengetuk terlebih dahulu karena itu sudah kebiasaanya.

"Mama kamu sudah berangkat, Cha?" tanya Dinda masih dengan kue cantik hasil buatannya.

"Belum, Tan!" balas Acha sembari duduk di samping Devid yang fokus dengan layar ponselnya.

"Main apa, lu?" tanya Acha penasaran.

"Belajar sonoh, entar gak masuk kelas unggulan lagi," ledek Devid.

"Bosen!"

Devid mengehentikan rutinitas menembak dan mendapatkan sesuatu yang para gamers dambakan. "Napa lu? Ada masalah?"

"Biasalah, mama."

"Karena elo gak ada kerjaan, gua mau kasih lu pelajaran, biar otak encer lu itu gak mubazir!" jelas Devid membuat kening Acha mengerut dalam.

"Apaan?"

"Mau jadi gamers?" tanya Devid sembari menampilkan layar ponselnya.

"Dapet apa gua nanti?"

"Dapet hiburan, lah!" serunya dongkol.

"Gak tau caranya!"

Devid mendekatkan wajahnya tepat di depan Acha. "Gua ajarin, lah, tolol!"

"Hmm yaudah sih, mana coba!"

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Where stories live. Discover now