143. Nostalgia Ke SMA

27 4 0
                                    

"Mencoba mengobati rasa luka dan rindu, melupa di sampingnya sedang terluka menahan jeritan pilu."

SMA Garuda masih berdiri kokoh. Lebih baik dari tahun di mana Acha dan Devid berlari melewati lorong-lorong, sedangkan waktu enggan berhenti sejenak untuk memberikan kesempatan bagi mereka. Namun, Acha yang menjadi inti masalah karena bangun kesiangan. Devid lagi-lagi kena imbas, ia harus mengakui kesalahan Acha adalah salahnya. Ah, rindunya masa dulu. Masa yang belum mengerti apa itu cinta dan mengenal dalam luka karena cinta.

Langkah keduanya mulai menyeberangi jalan, mendekati pos satpam yang berjaga dengan tampang sangar. Acha melempar senyum, tak ada satu pun di antara empat satpam itu yang ia kenali. Ke mana satpam dulu? Mungkin sudah keluar karena usianya yang telah renta? Acha mengingat lagi masa-masa itu, masa di mana seorang satpam sudah mengenal tingkahnya dan Devid. Sejoli yang tak bisa terpisahkan saat berada di zona kesialan.

Tiba-tiba semuanya berbeda, kala Richard dan Reina memasuki kehidupan keduanya. Penuh curiga dan amarah yang tertahan. Sampai terjadilah kecelakaan tak diharapkan, diiringi petir menggelegar! Jerit tertahan karena hujan lebat yang menghunjam. Acha terperangah, ternyata langit Bandung sekarang mendung menghitam legam. Seolah mewakili semua yang ia rasa sekarang.

Bram meliriknya sekilas, lalu Acha berkata, "Pak, saya alumni sekolah ini. Boleh, gak, keliling beberapa menit aja?" pinta Acha meminta izin terlebih dahulu.

Salah satu satpam yang sedang berjaga mendekat. "Boleh saya lihat identitasnya?"

Acha lupa tidak membawa ktp juga beberapa kartu pelajar masa SMA. Bram yang tahu kebingungan Acha, ia segera berkata, "Lo, masih simpan foto waktu SMA? Mungkin yang lagi pakek seragamnya?"

"Oh, ya!" Acha mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecilnya, tanpa menunggu lama mulai mencari beberapa foto di galeri.

Ya Tuhan, Acha diam sesaat. Foto yang ditemukannya adalah sewaktu Devid ulang tahun yang dirayakan langsung oleh penggemar fanatiknya. Di sana, Acha benar-benar dekil karena ikut dikejar-kejar. Belum lagi adonan kue yang nyasar mengotori rambutnya, di saat itu Acha ingin sekali memukul Devid bertubi-tubi. Namun, kali ini ia bersyukur bisa mengabadikan momen itu tepat di hari selasa waktu lalu.

Di depan gerbang bernamakan SMA Garuda yang gagah. Di sana, pula ada seorang siswi yang mengacungkan banner tepat tahun lahir dan tahun di mana Devid berulang tahun hari itu. Sangat membantu bukan? Dengan cepat, Acha memberikan foto tersebut lalu menunjuk wajah mungilnya di antara deretan perempuan yang ingin dilirik oleh Devid.

"Ini saya, Pak, yan—"

"Yang kecil, pendek, imut itu?" potong satpam, membuat Acha dan Bram terbahak. "Gak berubah wajahnya, ya, silakan masuk. Jangan beberapa menit, saya beri waktu sampai jam pulang tiba."

Wah, Acha sangat bersyukur mendapat sambutan hangat itu. Bram  meliriknya, Acha juga menoleh melempar senyum lebar. Mereka pun masuk satu hal yang dirasakan Acha adalah bernostalgia. Ia menyesal tidak memakai baju SMA ke sana, mungkin beberapa penghuni Garuda akan mengiranya anak SMA juga, bukan? Langkahnya menyusuri taman kecil yang dulu belum ada semasa ia sekolah. Ada kolam berisi ikan hias, sampai pancuran air yang anggun.

Karena mereka datang di waktu jam pelajaran, tepat pelajaran terakhir. Jadi, bebas menyusuri halaman sekolah. Tepat di samping kelas X MIPA 1 langkah Acha terhenti dan Bram yang ada di belakang mengikuti. Bayangan tawa dari beberapa temannya, Reina yang melambaikan tangan memberitahukan info persoalan Devid yang lagi-lagi membuat onar alias menciptakan racun bucin di kelas X MIPA 5.

"Kita gak bisa masuk, ya," lirih Acha, pendengarannya menangkap suara seorang guru yang sedang menerangkan materi Biologi.

Bram tersenyum tipis. "Ke tempat lain aja?"

Acha mengangguk pasrah. Di tangga inilah, ada banyak cerita juga. Bram yang menemani tidak tahu cerita apa yang sedang Acha bayangkan di masa lalu. Karena perempuan itu masih tetap diam, sesekali menatap tempat yang mengingatkan kenangan lama. Sesampainya di lantai bawah, sasaran selanjutnya menuju kantin yang sepi. Hanya beberapa siswa nakal, masih memainkan ponsel dengan makanan ringan menemani waktu menuju sore menunggu bel pulang dan gerbang dibuka lebar.

Tak jauh dari sana, Acha melihat perpustakaan yang sudah berubah drastis. Banyak beberapa puisi yang menanti untuk bisa ia baca. Sebelum kakinya melangkah ke sana, suara seseorang bertanya akan kehadiran mereka berdua menghentikan langkah kaki. Memaksa Acha untuk berbalik, menyapa dan menjawab pertanyaan.

"Selamat siang, Bu, maaf apakah kami mengganggu aktivitas belajarnya?"

Seorang guru dengan kerudung menghiasi wajahnya itu tersenyum lembut. "Siang, tentu saja tidak. Kalian tamu yang akan menemui KEPSEK?"

Bram membalas, "Bukan, Bu, dia." Tunjuknya kepada Acha. "Alumni SMA ini, ingin bernostalgia karena sudah lama menetap di Jakarta."

"Oh ... alumni, silakan, saya kira kalian tersesat?"

Guru bernama Ayu itu permisi pergi, membiarkan Acha dan Bram kembali melangkahkan kaki. Acha menjadi penasaram dengan jalan yang dulu petnah ia temukan, Devid dan Anita pacarnya yang entah ke berapa itu keluar tegesa-gesa dari balik bangunan perpustakaan dengan kancing baju paling atas terbuka. Terkenal menjadi tempat para pelajar nakal. Nongkrong ditemani rokok yang dihirup dalam-dalam, dihembuskan tenang serasa berasa ada di pantai. Kecewa dan salah paham, Acha tersenyum getir.

Mengapa ia terlalu bodoh akan cara basi Anita untuk mengelabuinya? Bahwa Devid telah menjamah tubuhnya? Padahal itu akal-akalan buruknya! Nyatanya, Devid adalah lelaki yang baik, sabar, juga lelaki yang pintar menyembunyikan kebohongan. Berapa tahun penyakitnya disembunyikan? Berapa tahun Acha tidak menyadari karena terbalut canda tawa Devid Kucrut? Tak pernah curiga sama sekali akan kenyataan tubuhnya.

Apa jangan-jangan kehilangan untuk ketiga kalinya ini, Devid kembali tersungkur karena penyakitnya kambuh? Sepuluh tahun lamanya, mungin sedang berjuang agar Acha tidak khawatir? Langkah Acha terus mengikuti jalan penuh tanah dan beberapa ranting patah. Di belakangnya, Bram tetap diam menguntit. Ia hanya sebagai penjaga, tidak seharusnya berkomentar juga atas apa yang ingin Acha lakukan.

"Ini tempat nongki pelajar nakal," ucap Acha, tangannya mengelus dinding belakang perpustakaan yang terlihat kotor karena tanah.

"Dan lo, gak mungkin jadi salah satu pelajar nakal di SMA ini, kan?" tanya Bram.

Acha menoleh. "Gua 'kan sahabatan sama cowok nakal, jadi tau di mana tempat aman bagi mereka."

"Tapi, gak seharusnya lo sampe tau tempat kek gini. Apalagi sampe mojok di sana!" Bram menunjuk tempat yang sedikit gelap karena dinding penyekat.

"Yuk, di sini kenangannya buruk banget." Acha mendahului Bram, lalu kembali menyusuri lorong-lorong kelas.

Tanpa diminta, suara bel pulang berbunyi. Jadi, Acha harus menghentikan acara bernostalgia ke masa SMA. Sedikit kesal dan pasrah ditarik oleh Bram keluar mereka memilih duduk tepat di sebuah kafe. Tempat di mana Acha dan Devid pernah duduk di sana. Waktu lalu, sebelum keduanya diterima masuk ke SMA Garuda yang tidak gampang semua orang bisa belajar di sana.

Teringat pula jagoan SMA Garuda yang mendekati mereka, mencurigai Devid sebagai mata-mata SMA lain. Padahal, ia baru juga akan lulus dan ingin sekolah di SMA yang berhadapan dengan kafe ini. Acha lagi-lagi memesan kopi hitam, menyesapnya dalam lalu mengembuskan napas panjang.

"Kenapa, ya, Tuhan gak bosen apa ngilangin manusia kek dia dari gua? Biar apa, sih!" gerutu Acha.

Bram tersenyum kaku. "Mungkin, itu ujian buat kalian. Apa mampu lanjut ke tahap lain, atau berhenti karena menyerah?"

Acha menoleh malas. "Ujian hidup maksudnya?"

"Ya kali, ujian sekolah, Cha!"

"Terserah, deh! Gua cape berharap mulu, apalagi harus nunggu beberapa tahun lagi." Tatapannya menyaksikan beberapa penghuni Garuda yang mulai keluar dengan kendaraan pribadinya.

"Gua juga cape," batin Bram, tanpa Acha ketahui alasannya.

CINTA SEGI EMPAT 3 [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ