[AU]Soldier!Bokuto x Doctor! Akaashi

345 105 22
                                    


Menarik tiang infusnya Bokuto berjalan perlahan melewati lorong yang sepi. Memang bagian rumah sakit khusus untuk menangani prajurit tentara terletak lebih dalam, lebih, khusus, dan tentu memiliki protocol yang jauh lebih ketat.

Sesekali Bokuto bisa melihat beberapa petugas kesehatan berseliweran dengan raut wajah yang lebih serius. Beberapa dari mereka memakai APD lengkap. Sebuah pemandangan yang jarang dilihatnya namun tetap tidak membuatnya tenang.

Di tempat inilah Akaashi berjuang. Setiap melewati bangsal Bokuto membayangkan sosok ramping dan cerdas Akaashi yang setiap hari berseliweran. Memakai atribut kerjanya. Terkadang Bokuto memperhatikan garis-garis bekas karet dan ikatan di wajah Akaashi yang Bokuto sukai. Atau ruam kemerahan di sekitar garis hidung akbat memakai masker terlalu lama.

Meski begitu di mata Bokuto, seorang Akaashi Keiji tetaplah indah.

Namun akhir-akhir ini Bokuto melihat kilat kemarahan, ketakutan dan stress yang tidak bisa disembunykan oleh pemuda kesayangannya itu. Dan yang lebih parah yang menyebabkan hal tersebut adalah Bokuto sendiri.

Menghela nafas dalam-dalam Bokuto menghentikan langkahnya. Masih dengan tangan kebas akibat infus yang menggenggam tiang besi dingin yang menyangga botolnya. Bokuto menyadari sesuatu, ia tidak tahu kemana harus mencari Akaashi sekarang.

Bokuto sudah mengunjungi kantor dan tempat prakteknya yang kosong. Ia tidak menemukan sosok Akaashi di sana. Kemudian memutuskan mengikuti nalurinya berputar-putar di rumah sakit yang besar itu.

Matanya melihat sekelebatan Watari Shinji yang berbelok ke lorong yang menghubungkan bagian rumah sakit khusus tentara elit dan rumah sakit untuk warga sipil yang jauh lebih ramai. Bokuto sendiri bisa mendengar suara-suara dari tempatnya berdiri. Ia tidak mau membayangkan seramai apa bagian rumah sakit itu.

Tempat Bokuto jauh lebih nyaman.

"Maaf, bukannya anda tentara yang berpatroli dan membawa truk itu?"

Bokuto tersadar dari lamunannya. Beberapa meter di hadapannya berdiri sosok pemuda yang sepertinya seumuran dengannya namun lebih pendek.

"Benar. Kau siapa?"

Pemuda itu langsung membungkuk kikuk "Ah, maaf. Seharusnya aku tidak berada di sini. Aku tersesat." Pemuda itu mengedikkan bahunya kea rah rumah sakit bagian sipil "aku seharusnya berada di sana tapi aku tersesat. Adikku diisolasi di sana dan aku baru membeli makanan untuknya. Padahal aku sudah lama di sini tapi masih sering tersesat."

Bokuto terkekeh melihat pemuda itu menggaruk tengkuknya.

"Tenang, aku tidak akan melaporkanmu. Aku bukan pengadu. Ngomong-ngomong kau menjaga adikmu, bagaimana dengan kedua orang tuamu?"

Wajah memerah pemuda itu sontak berubah muram "Mereka tewas dalam serangan kota. Hanya tinggal aku dan adikku. Beberapa bulan lalu terjadi ledakkan dekat rumah kami.Aku sedang tidak ada di rumah. Aku dan adikku selamat tapi sepertinya adikku terpapar virus."

Hati Bokuto mencelos.

"Namun aku ingat, saat aku kembali dan menemukan adikku yang pingsan karena banyak menghirup gas saat itulah Bokuto san lewat. Kami berdua dibawa oleh mobil patroli yang dikendarai Bokuto san dengan cepat. Kalau saat itu tidak ada Bokuto san, terlambat sedikit saja maka adikku tidak akan selamat karena terlambat ditangani."

Pemuda itu membungkuk dalam membuat Bokuto Kotarou menjadi kikuk. Kemudian buru-buru menegakkan tubuh si pemuda itu.

"Sudah jangan begitu. Sudah menjadi tugasku menjaga kalian. Aku senang kalau aku berguna bagi orang lain. Aku turut berduka atas apa yang terjadi pada kedua orang tuamu. Jagalah adikmu baik-baik,ya."

Sebuh senyum cerah dan mata menggenang pemuda yang sudah kembali berdiri mengangguk semangat "Aku berharap Bokuto san juga cepat sembuh. Semoga setelah ini kita bertemu kembali di luar Rumah Sakit dan dalam kondisi yang berbeda. Terimakasih, aku dan adikku berhutang nyawa padamu!"

Semburat merah kini muncul di wajah Bokuto Kotaro namun tidak dapat ditutupi jika tentara itu membusungkan dada tampak bangga pada dirinya sendiri.

"Ah! Aku permisi dulu. Saatnya adikku makan siang."

"Baiklah, jaga dirimu baik-baik."

"Anda juga,Bokuto san! Sampai jumpa!

"Sampai jumpa" melambaikan tangannya Bokuto melihat pemuda itu berbalik dan bergegas kea rah bagian lain. Kini ia kembali sendiri dan teringat tujuan utamanya untuk bertemu dengan Akaashi.

Saat tengah kebingungan kemudian muncul sebuah keajaiban. Akaashi Keiji yang hari itu hanya mengenakan jas putih biasa tengah berjalan denga beberapa map di tangannya. Terlihat fokus sehingga tidak menyadari Bokuto Kotarou yang sedang mematung kebingungan memegangi tiang infus di tengah lorong sepi.

"Keiji!"

Wajah serius itu terkejut saat mata sebening Kristal beremu sewarna keemasan. Hanya sekejap sebelum kembali ke raut kesal. Tidak menyia-nyiakan kesempatan Bokuto bergegas mendekati dokternya.

"Aku ingin menjelaskan sesuatu!"

Akaashi menaikkan salah satu alisnya.

"Kau salah paham!" seru Bokuto yang menggema di lorong rumah sakit.

"Turunkan suaramu. Kau dilarang berisik di rumah sakit." Ucap Akaashi kalem.

"Maaf," Bokuto menurunkan suaranya "Aku ingin kau mendengar ini. Aku sama sekali tidak berniat menyembunyikan sesuatu darimu."

Genggaman Akaashi pada map kertas mengerat membuat map-map itu menjadi kusut.

"Oke, aku menyembunyikan bahwa aku mengalami beberapa gejala. Tapi kupikir itu tidak serius. Aku tidak tahu kalau aku kena apa namanya? Vertigo?"

Akaashi masih terdiam dan kini malah menunduk menghindari tatapan mata Bokuto. Kekasihnya itu malah paik dan membungkuk mencoba melihat wajah Akaashi.

Yang meneteskan air mata lega.

"Ke-Keiji keu menangis?"

"Kau tahu tidak betapa takutnya aku?" suara Akaashi tenang. Malah kelewat tenang membuat Bokuto membisu. Dia membiarkan Akaashi mengeluarkan semua isi hatinya "Saat seperti ini semua hal mejadi tidak mmenentu. Membaca laporn kesehatanmu dan memeriksanya membuatku selalu takut. Takut menemukan hal yang membahayakan dirimu. Aku tidak marah padamu. Aku..aku menyalahkan keadaan. Kenapa harus ada perang? Kenapa harus ada virus? KENAPA?!"

Untuk pertama kalinya Bokuto terkejut setengah mati karena melihat Akashi yang biasanya terlihat dewasa dan memiliki pembawaan tenang menjadi kalap.

" Bagaimana kalau kau terkena virus? Bagaimana kalau kau terluka parah di medan perang. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa kau tidak apa-apa. Bahwa itu resiko pekerjaan dan itu pilihanmu. Aku bingung ingin menyalahkan siapa sampai rasanya dadaku sesak. Aku takut setengah mati. Dan melihatmu tidak sadarkan diri dengan temanmu yang membawamu dengan panic, rasanya aku sendiri hampir mati. Aku bersumpah jantungku sempat berhenti berdetak selama nol koma sekian detik. Maafkan aku, maaf, tidak seharusnya aku menumpahkannya kepadamu."

Bokuto tidak peduli lagi dengan tiang infus yang terjatuh dan menyembunyikan bunyi kelontang keras. Ia lebih memilih menangkap tubuh berjas putih di hadapannya yang merosot ke lantai. Terisak dan semakin deras mengeluarkan air mata. Menumpahkan semua isi perasaannya yang selama ini ia pendam sendirian.

"Maafkan aku,Koutarou. Aku takut. Maafkan aku."

Bokuto mendekapnya dengan erat.

"Tidak apa-apa. Aku di sini. Aku baik-baik saja. Aku punya kau yang akan selalu menjagaku. Aku memiliki tujuan kuat untuk tetap bertahan hidup dan menyelesaikan perang ini. Kau adalah semangatku. Kau tujuanku,Keiji. Aku ada di sini."

Bokuto ingin melindungi Akaashi Keijinya yang berharga. Dan di tengah lorong yang masih sepi itu Bokuto menghentikan isakan tangis kekasihnya dengan sebuah kecupan yang sangat lembut dan manis.

"Aku mencintaimu, Akaashi Keiji."

~GUARD YOU~ [AU]- EDITEDWhere stories live. Discover now