[AU]Soldier!Bokuto x Doctor! Akaashi

343 97 13
                                    

Suasana benar-benar mencekam saat akhirnya pihak musuh mengetahui jika salah satu gudang rahasia mereka sudah dimusnahkan. Baik pada saat malam hari maupun pada siang hari sama saja menyeramkan. Suara ledakan terdengar semakin intens dan semakin banyak pasukan yang keluar masuk rumah sakit.

Beberapa hari yang lalu Akaashi hampir terkena serangan jantung saat sekelompok prajurit membawa tubuh Bokuto Kotaro yang tidak sadarkan diri ke rumah sakit. Mereka bilang Bokuto tiba-tiba pingsan di dalam mobil yang membawa mereka ke laboratorium. Untung saat itu bukan sesuatu yang benar-benar gawat. Bokuto hanya stress dan menyebabkan tekanan darah rendahnya kambuh hingga membuatnya pingsan.

Bukan itu masalahnya, Akaashi masih tidak yakin kalau Bokuto hanya mengidap tekanan darah rendah biasa. Maka di sinilah ia sekarang.di ruang rawat Bokuto dan melihat pria itu tengah tertidur setelah mendapatkan perawatan.

Prajurit yang lain kini sudah kembali ke medan pertempuran. Tidak ada istirahat setelah tugas apalagi setelah pihak musuh mengetahui jika mereka kehilangan aset berharga dan kini mengamuk.

Satu sisi Akaashi senang Bokuto aman di hadapannya dan di sisi lain rasa cemas berkecamuk di dalam batinnya.

"Oyasuminasai,Kotarou." Dokter berparas indah itu perlahan berjalan meninggalkan ruang rawat kekasihnya.

********

"Seharusnya kau bisa kembali hari ini. Namun di situasi begini lebih baik kau menetap di sini. Supaya aku juga bisa secara langsung mengontrol kemajuan kesembuhan tanganmu."

Akaashi menatap mantan ilmuwan muda yang beberapa waktu lalu ia operasi bersama Dokter Konoha. Laki-laki itu kini terlihat murung dan semakin kurus. Saat pertama kali ia bangun setelah operasi dan mendapati tangan kanannya sudah diamputasi , Watari Shinji, ilmuwan muda itu menangis dan mengamuk. Akaashi dan Konoha sampai kewalahan menanganinya. Kemudian beberapa hari kemudian dia sudah tidak mengamuk namun bukan berarti ia membaik. Watari Shinji terdiam dan sama sekali tidak mau merespon saat berbicara. Bahkan sangat sensitif. Saat perawat ingin membantunya makan ia malah kembali mengamuk dan melemparinya dengan piring.

Akaashipaham. Ia sendiri jika berada di situasi seperti Shinji juga mungkin sulit menerima kenyataan. Kehilangan tangan sebagai seseorang yang bekerja di bidang medis pasti sangat membuat terpukul. Keduanya memiliki kesamaan profesi meski Shinji berada di bidang penelitian.

Butuh bebrapa minggu bagi watari Shinji untuk kembali stabil. Memang belum seberapa namun sudah ada kemaujuan. Pemuda itu sudah mau membuka diri sedikit demi sedikit kepada Akaashi.

"Maaf, saya merepotkan Sensei."

Akaashi menggeleng sambil tersenyum "Tidak. Ini sudah tugasku."

"Seharusnya aku lebih hati-hati lagi. Padahal aku sudah mendapatkan apa yang aku inginkan. Akhirnya aku bisa bekerja di laboratorium. Akhirnya aku juga sudah bisa mewujudkan cita-cita temanku. Tapi karena kecerobohan dan kebodohanku aku malah merepotkan orang-orang dan kini kehilangan segalanya."

Akaashi menraki kursi dan duduk di sebelah tempat tidur Watari Shinji.

"Dengarkan aku, Watari san. Terkadag kita tidak mendapatkan apa yang paling kita inginkan dalam hidup. Untuk dirimu setidaknya kau sudah pernah bekerja di laboratorium. Jasamu pasti besar, Dan temanmu sudah pasti bangga dan berterimakasih kepadamu. Kau masih muda tetapi sudah mampu bekerja di laboratorium milik negara dalam kondisi seperti ini. Mungkin musibah ini adalah tanda bahwa sudah saatnya kau lebih berguna di bidang lain. Ada rencana lain untukmu yang lebih hebat daripada bekerj di laboratorium."

"Apa yang bisa kulakukan, Sensei? Aku bahkan tidak bisa makan dengan baik. Aku tidak punya tangan kanan!"

Akaashi berbicara dengan sangat hati-hati "Kau mungkin sudah kehilangan tangan kananmu. Tetapi kau belum kehilangan semua kejeniusanmu. Karena kondisi seperti ini kau belum bisa pulang. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin kau membantuku di sini. Gunakan otak jeniusmu untuk membantu pihak rumah sakit. Kau sudah pasti tahu banyak informasi mengenai virus yang kini sedang banyak beredar. Aku ingin kau membantu tim dokter yang menangani warga sipil untuk merawat pasien yang terisolasi. Tidak perlu menangani langsung tapi kurasa nasihatmu aan sangat berguna."

Pemuda berwajah pucat itu mendongak dan untuk pertama kalinya hari itu ia menatap Akaashi yang memakai maser dan pelindung tubuh,

"Sensei bercanda!"

"Tidak," Akaashi menggeleng "Aku sudah berkonsultasi dan menceritakan kondisimu pada kepala departemen tim sipil. Beliau setuju namun tentu bayaran yang diberikan jauh berbanding dan tidak sebesar saat kau bekerja di laboratorium."

"Tidak masalah! Selama aku masih berguna tidak dibayar juga tidak masalah!" seru Watari Shinji

"Kau akan dibayar dan mendapatkan mes," Akaashi terkekeh "Kau kan bekerja di sini. Nah jadi pulihkan dulu tubuhmu samai benar fit. Aku senang kau setuju karena kami benar-benar kewalahan. Angka kematian terus naik dan kami butuh seseoraang yang berpengalaman dan memiliki pengetahuna khusus mengenai virus ini. Para dokter tidak berani meminta banyak informasi dari lab karena yah, maaf, kalian para kaum elit yang tidak bisa diganggu sembarangan."

Shinji sedikit tersenyum. Ia ingat bagaimana strict mantan atasannya di laboratorium. Ia memandang dokter di hadapannya dan bersyukur. Ia masih punya kesempatan. Hingga kalimat Akaashi membuat air matanya kembali meleleh. Bukan air mata kesedihan tapi air mata bersyukur dan terharu.

"Kau masih bisa menyelamatkan banyak nyawa, Watari san. Kam mengandalkanmu. Sangat mengandalkanmu!"

***********

"Papa tidak datang lagi."

Bocah itu duduk di kursi ujung ruangan. Para pengasuh sudah membujuknya tetapi ia tetap bertahan berada di sana. Bahkan banyak orang tua yang sudah membujuknya tetapi ia tetap merajuk. Sejak datang ke penampungan bocah itu sudah enarik berbagai macam orang. Sosoknya yangsuka berceloteh sangat lucu menghibur banyak orang. Meski yang ia ceritakan memiliki topic yang sama namun tetap saja tidak ada yang bisa mengabaikan anak itu. Anak yang masih saja tidak mau menyebutkan namanya itu selalu bercerita tentang betapa hebatnya seorang Bokuto Kotaro yang sudah ia anggap sebagai Papa.

Namun sudah sekian hari sosok yang sangat diidolakan itu tidak datang menampakkan diri. Biasanya beberapa hari sekali Bokuto akan mampir dari tugasnya berpatroli untuk menjenguk anak itu. Namu absennya Bokuto membuat ia merajuk.

"Ayo, kalau kau begini terus Bokuto san juga tidak akan senang."

Bibir mungil itu mengerucut kesal mengabaikan bujukn pengsuhnya.

"Tidak mau! Aku mau menunggu Papa sampai dia datang. Dia sudah janji untuk sering datang menjengukku di sini."

"Papamu itu seorang tentara. Dia pasti sangat sibuk. Bisa saja Papamu sedang ada di dalam misi penting. Sedang berjuang untuk negara jadi tidak bisa menjengukmu dulu."

Kini anak itu menoleh dan memandang gadis pengasuhnya.

"Benarkah?"

Sang pengasuh mengangguk "Aku dengar kemarin ada sepuluh prajurit tentara ditugaskan untuk misi penting. Mereka berhasil merusak salah satu gudang milik musuh. Kau lihat sendiri sekarang perang semakin ramai karena musuh marah setelah tentara kita berhasil merusak gudang mereka. Aku yakin Papamu adalah salah satu tentara yang ikut berjuang di misi tersebut dan kini tengah bertarung di garis depan."

Sepasang mata mungil itu kini berbinar-binar. Kemudian anak itu berdiri tegap dan berseru "Tentu saja! Papa pasti salah satu dari mereka. Papa yang memimpin mereka!"

Sang pengasuh tersenyum senang berhasil membujuk anak itu "Nah,sekarang makan dulu lalu tidur siang dulu,ya. Papamu akan sedih kalau kau sampai sakit. "

"Baik!"

'Aku harap Bokuto san akan baik-baik saja. Dan akan kembali menjengukku di sini. Aku takut kalau Bokuto san juga akan meninggalkanku sendirian..."

~GUARD YOU~ [AU]- EDITEDWhere stories live. Discover now