Count The Days

112 12 14
                                    

"Kami butuh relawan yang kemampuannya setara dengan dokter. Sangat banyak penderita ebola di daerah kami. Obat tidak akan cukup untuk menyembuhkan mereka. Bisa kalian lihat, kami sangat kekurangan relawan" Ucap salah satu relawan di Uganda. Kulit hitamnya dibasahi keringat. Reporter dan kameramen hanya menganggukkan kepala ketika pria itu menjelaskan bagaimana keadaan para pasien yang terjangkit ebola.

Di salah satu kamp di dekat mereka, seorang anak berumur 15 tahun yang dinyatakan terjangkit ebola terkulai lemas. Tubuhnya kurus kering, penyakit ebola sudah mulai menggerogoti pipinya yang dulu berisi. Anak itu mendengar percakapan si reporter dan salah satu dokter di sana. Terdengar samar, tapi gadis itu tahu mereka membicarakan pasien terjangkit ebola sepertinya.

Setiap bergerak, gadis itu merasakan nyeri di tubuhnya. Seperti otot-ototnya sedang mengalami pendarahan di dalam. Sudah keempat kalinya gadis itu memuntahkan darah di baskom besi yang sekarang tergeletak di bawah kasurnya.

Kamp itu untungnya masih diisi 3 orang. Si gadis dan dua orang wanita paruh baya yang kondisinya semakin parah dari hari ke hari. Gadis itu kembali mengingat teriakan wanita di sebelah kanannya saat pagi tadi. Anak wanita itu meninggal gara-gara ebola. Ebola yang sama sekarang dideritanya.

"Lebih baik aku mati" Wanita itu berbisik dalam tidurnya. Tidak, dia tidak tertidur. Dia hanya berbaring —jika bisa disebut berbaring— ke arah gadis remaja itu.

Gadis berambut kecoklatan ini mengangkat bibirnya sedikit. Mengerahkan tenaganya untuk tersenyum, tapi malah membuat dia terlihat seperti meringis. Wanita paruh baya itu terbatuk-batuk lagi. Suara batuknya membuat si gadis sedikit terusik.

Salah satu relawan datang menggunakan masker dan pakaian yang sangat tertutup. Gadis itu mengernyitkan dahinya. Ia menyimpulkan kalau para relawan sangat jijik dengan keadaan mereka sekarang. Padahal, relawan itu hanya melindungi tubuh mereka agar tidak terpapar virus ebola.

Relawan itu memiliki suara lembut. Dia mungkin berumur 20 an. Rambutnya digulung dan memiliki mata sipit. Si 15 tahun berpikir jika si relawan pasti orang asia. Atau berdarah asia. Gadis itu mengangguk ketika perawat itu menanyakan apakah dia sudah makan atau belum.

"Lexi, kau tambah kurus. Makanlah yang banyak biar pipi tembemmu kembali lagi" Relawan itu mendekat dan mengganti botol infus milik Lexi. Si gadis 15 tahun yang kini cuma bisa mengangguk lagi.

Lexi bisa melihat nametag wanita itu, namanya juga terdengar sangat asia. Erika Ennio. Nama yang cukup cantik menurut Lexi. "Kak, kamu cantik"

Erika tertawa kecil mendengar pujian yang muncul dari Lexi. Gadis berkulit hitam itu terlalu baik menurut Erika. Relawan lain mengatakan kalau Lexi juga selalu memuji siapapum yang datang ke kamp mereka. Bahkan, Lexi sebenarnya tidak bisa melihat wajah mereka, karena tertutup masker dan kacamanta pelindung.

"Kamu terlalu baik, Lexi sayang" Erika mengacak pelan rambut coklat Lexi yang warnanya benar-benar kontras dengan kulit Lexi sendiri.

Lexi mengangguk lagi, dia suka kepada relawan itu. Sifatnya yang ramah dan suaranya yang lembut, mungkin itu salah satu kebiasaan orang asia. Ramah.

"Kapan aku sembuh kak?" Suara Lexi terdengar parau.

Erika menatap gadis kecil itu miris. Lexi sudah terjangkit ebola selama 2 minggu penuh. Keadaannya memang sempat membaik ketika minggu pertama. Tapi, keadannya kian bertambah parah sejak hari ke sembilan Lexi disini. Obat saja tidak cukup untuk penyembuhannya. Erika kembali teringat bocah yang seumuran dengan Lexi, meninggal pagi tadi. Hatinya teriris ketika melihat mata hijau milik Lexi.

Lexi menunggu jawaban. Dia memperhatikan Erika yang mengganti infus dan juga baskom besi yang ada di bawah kasurnya. Erika mengelus tangan kurus Lexi, lalu berkata ke telinga gadis itu pelan, "Secepatnya, asal kamu banyak makan"

Erika pergi setelah mengganti infus dua wanita paruh baya di kamp itu. Perawat itu melambai ke arah Lexi. Si gadis cuma bisa mengangguk dan tersenyum kecil membalas Erika.

Lexi menatap tangan kurusnya. Teringat sedikit kata-kata dokter yang berbicara kepada kameramen tadi, "Kemungkinan mereka selamat sangat sedikit, mungkin orang-orang dewasa bisa selamat. Tapi, untuk anak-anak, kemungkinan besar mereka akan meninggal di minggu ketiga terjangkit ebola"

Lexi menghitung sudah hari keberapa dia di kamp itu. Terbaring disana, tanpa melakukan apapun. 7 hari, 8, 9, 14, 17..

Oh, Lexi sudah 18 hari disitu. Dia akan selamat, iya kan?

Sprezzatura: Antologi CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang