"Karena kita belum jadian." Terdengar suara Jerome merebahkan diri ke kasur. "Kamu masih punya hak kenal sama orang lain dan memilih yang terbaik."

Mungkin karena aku hanya diam, Jerome kembali bertanya.

"Okay?"

"Okay."

Aku ikut merebahkan diri di kasur, lalu memejamkan mata.

Sebenarnya sih, kalau disuruh pilih, aku tetep bakal milih Jerome meskipun ada yang lebih baik. Tapi, perkataan Jerome ada benarnya juga.

Perkara pasangan hidup, bukan cuman soal suka-sukaan, tapi memilih yang terbaik dari yang terbaik untuk menemani kita sampai maut memisahkan.

Dalam hati, aku berdoa Jerome adalah pasangan terbaik yang datang dari Tuhan, begitupun aku, untuk Jerome.

Mataku melebar ketika aku melihat satu buket bunga di atas sofa.

Jangan-jangan dari Jerome lagi, batinku.

Dengan perasaan senang aku menghampiri buket bunga tersebut. Disampingnya ada sebuah notes. Aku membacanya.

Hi, Nyanya!

Suka gak sama bunganya?

Yang terlintas dipikiran aku pas liat bunga ini cantik, tapi kamu bahkan jauh lebih cantik dari bunga ini, Nya.

Kalau mau berterimakasih, ini nomorku ya 08XXXXXXXXX

Ditunggu chatnya, love.

- Edward Dirgantara

Aku mengernyit. Edga?

Perasaan senangku langsung surut dan senyumku luntur begitu saja.

Aku mengambil notes itu, meremasnya, dan langsung membuangnya ke tong sampah.

Esok harinya, lagi-lagi aku mendapati boneka totoro yang ukurannya sangat besar, juga notes dari Edga yang tentu saja langsung kuremas dan lagi-lagi kubuang ke tong sampah.

Hal ini berlangsung sampai 1 minggu lebih. Tiap hari aku selalu mendapatkan barang yang berbeda-beda.

Hari ini, aku dikirimi parfum Victoria Secret Bombshell dan tak lupa notes berisi nomor hape Edga seperti biasa.

Oke, aku gak tahan lagi.

Aku mengambil notes tersebut, menambahkan nomor Edga di kontakku, dan langsung meneleponnya.

Baru dering kedua, Edga sudah mengangkat telepon dariku. "Hi, love."

Aku sedikit kaget. Edga masih menyimpan nomorku ternyata, melihat dia langsung tau aku yang menelepon.

"Tumben nelepon, kangen? Btw, suka parfumnya?"

Bukannya senang, darahku serasa naik ke ubun-ubun.

"Kita harus ketemu," ujarku dingin dan menutup telepon dengan kasar.

Jerome Polin

|Nya
|Nya
|Nya

Kenapa dah?|

|Aku ada tebak-tebakan
|Dijawab ya

Apaaaa?|

|Snack, snack apa yang suka pre-order?

Paan?|
Nyerah|
Otakku lagi mager untuk mikir|

|Mager mulu

Biarin :b|
Apaan cepet jawab|

|PO cky, WKWKW

WKWKWK|
Receh beut|
Btw|
Besok aku ketemuan sama Edga|

Centang biru. Lama Jerome tidak membalas. Aku berniat double chat Jerome ketika pesannya masuk lagi.

|Berdua?

Iya nih|

|Oh

Aku mengernyit heran. Gak biasanya Jerome membalas chatku sesingkat dan secuek ini.

Koko kenapa?|

|Gpp

Yang bener?|

|Iya

Oh, oke|

Setelah itu gak ada balasan lagi. Aku juga memutuskan untuk tidak menanyakan apa-apa lagi.

Mungkin dia sedang perlu waktu sendiri.

Atau, jangan-jangan, dia..., cemburu?

Tapi, seorang Jerome? Cemburu?

Kayaknya gak mungkin deh.

"Ah, gatau ah!" teriakku frustrasi.

Polin in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang